8/28/2017

Ayah -Novel by Pak Cik Andrea Hirata

Sabari, adalah anak dari seorang laki-laki yang hidup dan menetap di Belantik, kampung paling ujung di pinggir laut Belitong sebelah timur, Insyafi namanya.Sejak pertemuan pertamanya dengan perempuan bernama Marlena binti Markoni, Sabari yang tidak tahu menahu tentang persolan cinta, dan cenderung menganggap perkara cinta adalah perkara paling tidak penting, justru dibuat jatuh cinta mati-matian pada Marlena. Pertemuan pertama mereka terjadi di dalam ruang ujian akhir nasional. Sabari yang yang tak pandai di berbagai bidang ilmu, justru dengan sangat mudahnya menyelesaikan persoalan bahasa Indonesia yang diberikan kala itu. Dia menjadi orang pertama yang menyelesaikan seluruh soal tanpa kesulitan. Namun, ia terperanjat saat hendak mengantarkan lembar jawabannya ke muka pengawas, karena tiba-tiba saja seorang anak perempuan merebut lembar jawabannya tanpa permisi, menyalin seluruh jawaban Sabari ke dalam lembar kosong jawabannya sendiri. Sabari terperangah, dan masih mematung di tempatnya ketika perempuan itu menyerahkan kembali lembaran jawaban miliknya. Tanpa berkata-kata, anak perempuan itu tersenyum padanya sambil menyerahkan pinsil miliknya yang dianggap Sabari sebagai tanda terimakasih. Sejak saat itu, jungkir balik Sabari mengejar cinta Marlena.

Marlena sendiri adalah perempuan yang tinggal bersama kedua orang tuanya, Markoni. Nasib buruk yang menimpa ayahnya kala masih bujang, membuat Markoni mendidik anak-anaknya dengan tegas. diancamnya Lena yang rupa-rupanya memiliki watak seperti dirinya, kalau anak perempuan itu tidak lulus ujian SMP, maka akan di berhentikannya sekolah dan dikahkannya dengan laki-laki pilihan Markoni sendiri. Ia hanya tak ingin Marlena bernasib sama dengan dirinya yang putus sekolah dan tak menjadi apa-apa. Marlena yang pada dasarnya memiliki jiwa pemberontak tentu saja tak ingin hidupnya usai di pernikahan dengan laki-laki yang tak dia cintai. Maka dari itu, giat Marlena belajar. Namun karena ujian yang sudah semakin dekat, ragu Marlena akan dapat lulus ujian meski telah belajar dengan mati-matian. Ia hanya berharap keajaiban akan datang menghampirinya. Dan pada akhirnya bertemulah dia dengan keajaiban itu di ruang ujian. Yang mengantarkannya pada sebuah kelulusan.

Kisah cinta Sabari dan Marlena tak usai sampai ruang ujian. Perjalanan mendapatkan cinta Marlena tak pernah semulus yang diaminkan Sabari setiap waktu. Ia harus berhadapan dengan watak keras Marlena dan hobinya bergonta-ganti laki-laki. Harus berhadapan dengan  ayah Marlena yang tak kalah membuatnya kewalahan. Dan meski pun pada akhirnya Sabari berhasil menikahi Marlena dan mendapatkan seorang anak yang kemudian dinamainya Zorro, kebahagiaan tak serta merta menghampirinya dengan senang hati. Berbagai hal harus rela SAbari ikhlaskan. Kehilangan bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu baginya. Perjuangan Sabari untuk mendapatkan cinta Marlena, dan upayanya dalam meberikan seluruh cintanya kepada Zorro membuat mengikhlaskan menjadi hal yang paling sulit untuk di lakukan Sabari.
Dulu sekali saya pernah membaca buku Andrea Hirata yang pertama, Laskar Pelangi. Dan ini buku kedua Andrea yang saya baca lagi setelah sekian lama. Tapi tetap saja, saya selalu mendapatkan perasaan menyenangkan saat tenggelam dalam novel-novel karya Andrea Hirata. Kisah yang sederhana, dari orang-orang sedrehana dan dikemas dengan gaya bahasa yang sangat sederhana, membuat buku-buku Andrea Hirata menjadi buku yang paling enak untuk disantap. Melalui kisah Sabari ini, sepertinya pak cik Andrea ingin menyampaikan pesan, bahwa apa yang kita inginkan harus kita dapat dengan usaha yang sangat besar. Dan sebuah usaha yang sangat besar tidak akan menghianati sebuah hasil. Kisah yang sangat menyentuh, sekaligus menggelitik.

"Ingat Boi, dalam hidup semua terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu." Hal: 394

8/27/2017

Saksi Mata - Seno Gumira Ajidarma

Satu lagi buku yang menurut saya wajib untuk di baca, terutama bagi para pecinta bacaan sejarah. Saksi Mata dari tangan seorang Seno Gumir Ajidarma. buku ini merupan kumpulan cerpen yang terdiri dari 16 belas cerpen yang keseluruhannya mengangakat kisah di balik insiden Dili 12 November 1991, tepatnya pada masa orde baru masih berkuasa. Buku ini mengungkapkan perjuangan-perjuangan dari para tokoh dalam menyempurnakan sisi kemanusiaannya. Berbagai tragedi berdarah dikisahkan dalam setiap cerpen dengan sangat apik. Bagaimana para pejabat militer memperlakukan sesorang dengan sangat kejam. Nyawa tak ada lagi harganya, rasa kemanusiaan tidak lagi tertanam. Rasa kehilangan menghinggapi setiap yang benyawa. Hingga yang muncul adalah ketakutan-ketakutan dalam menghadapi hari baru. Ketakutan dalam berbicara, ketakutan dalam mengambil keputusan, ketakutan dalam menuliskan suatu kebenaran yang tersembunyi. Disetiap kisah yang dihadirkan kita akan ikut merasakan suasana mencekam dan ketakutan seperti yang terjadi pada masa itu.  Hingga meski pun sudah merampungkan membacanya, buku ini akan menjadi buku yang paling membekas dan sulit untuk di lupakan. Banyaknya makna-makna yang terselubung menjadi kan buku ini kian menarik. Seperti salah satu cerpen yang berjudul "Klandestin."  Yang menggambarkan bagaimana seseorang yang merasa terpasung kakinya, terikat tangannya, terantai lehernya, merasa bagaikan roh tanpa tubuh yang bergentayangan seperti setan. Yang meski pun si tokoh mencoba mencari-cari siapa musuhnya tetap saja tidak dapat ditemukan. Sampai pada akhirnya ia menyadari bahwa musuh terbesarnya adalah sistem. Sistem yang memusuhi pikiran-pikirannya yang begitu menakutkan hingga ia harus menerima kenyataan penanya harus dibekukan, listrik harus di cabut dari komputernya dan tak selembar kertas pun tersedia untuknya untuk menampung pikiran-pikirannya yang belum sempat tertuliskan. Cerpen ini mengungkapkan satu fakta bahwa pada masanya, menulis pernah dianggap menjadi satu kegiatan yang mengancam. Mengancam negara, mengancam kepemerintahan dan tak lebih mengancam penulisnya. Tentu saja dengan harapan keburukan sebuah sejarah tidak boleh terungkapkan. 

Seluruh cerpen yang ada di dalam buku ini rasanya begitu mencekam, mengerikan dan suram. Saya sendiri seolah dapat meraskan kisah Junior, yang sejak bayi telah diasuh oleh suster Tania dan ketika besar harus rela berpisah dengan perempuan yang sudah dianggap ibunya sendiri itu demi mencarikeberadaan ibu kandungnya yang menghilang sejak ia masih bayi. Bagaimana perasaan Da Silva ketika mendapati kepala anak perempuan satu-satunya yang terpenggal dan ditancapkan di pagar rumahnya sendiri. Betapa mencekamnya hidup Salvador menjelang kematiannya yang harus rela tubuhnya dihujani peluru dan mayatnya digantung di gerbang kota hanya karena kesalahan kecil, maling ayam. Kesedihan Maria yang kehilangan seluruh keluarganya dan menunggu bertahun-tahun kepulangan anak bungsunya, Antonio yang dirasanya masih hidup dan sedang bersembunyi. Tentang perasaan Antonio yang setelah sekian lama bersembunyi di hutan dan pada akhirnya menemukan jalan pulang kembali, namun tak dapat dikenali oleh ibunya, Maria dan harus rela diusir dari rumahnya. Tentang bagaimana mencekamnya kota Ningi yang setiap tahunnya penduduknya selalu berkurang. Dan tentang kebiasaan aneh mereka yang hidup dengan orang-orang yang tidak kelihatan. Yang sebenarnya sudah mati tapi tetap hidup bersama mereka, makan dimeja makanyang sama, tidur di rumah yang sama dan menjalani kehidupan yang sama dengan mereka. Dan saya pun turut merasakan berada dalam mata pelajaran sejarah yang di sampaikan oleh bapak guru Alfonso. 

Buku yang sangat luar biasa dan menyentuh hati nurani saya sebagai seorang warga Indonesia. Buku ini sangat saya rekomendasikan. Untuk reting sendiri, saya berani memberikan 5 bintang.

Mencari Setangkai Daun Surga

"Seorang sastrawan bisa saja dihabisi oleh penguasa, tetapi suaranya akan tetap hidup: melalui karya-karya abadi yang membekas di benak dan hati anak-anak bangsanya." -Anton Kurnia, hal : 134


Buku karangan Anton Kurnia ini merupakan salah satu buku yang wajib di baca menurut saya. Berisi lebih dari 70 esai yang memuat seputar sastra, politika, budaya dan sejarah. Terdiri dari 3 Bagian, masing-masing bagian memiliki temanya sendiri. Bagian pertama berjudul "Dari Praha Ke Hindia Lama."  Esai-esai pada bagian ini sedikit banyak mengulik tentang beberapa karya sastra dunia, baik yang terkemuka maupun yang terlupakan. Perjuangan-perjuangan penulisnya dalam menghasilkan sebuah karya, sampai pada prestasi-prestasi yang di raihnya. Terdiri dari 27 karya sastra yang di bahas, diantaranya adalah karangan dari Franz Kafka, penulis kelahiran Praha, Milan Kundera, penulis kelahiran Ceko, Joshep. K, Italo Calvino, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Mo Yan, hingga penulis-penulis terkemuka asal negeri sendiri, Pramudiya Ananta Toer, Ayu Utami,  Djenar maesa Ayu dan masih banyak lagi karya sastra yang diangkat dalam buku ini. Yang menarik dari bagian ini adalah pengangkatan kisah di balik terciptanya sebuah maha karya. Perjuang seorang penulis agar karyanya di terima masyarakat, Sampai pada akhirnya karya mereka benar-benar diakui dan mendapat penghargaan. Salahs satu esai yang paling saya suka pada bagian ini adalah "Pena dan Pedang." Mengungkapkan perjuangan seorang penulis yang harus berhadapan dengan pemerintahan yang korup dan menindas. Bagaimana sebuah karya menjadi ancaman dan sang maestro mau tidak mau harus di sembunyikan di balik jeruji besi dengan tuduhan sebagai pemberontak negara. Tapi yang menarik, sang sastrawan tak pernah patah arang. Penjara tak pernah menjadi sesuatu yang menyurutkan keinginan mereka untuk memngungkapkan kebenaran melalui sebuah pena. Seperti kata Gabriel Garcia marquez : "Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itu lah penulis berbakti kepada bangsanya."

Berlanjut kebagian ke dua dalam buku ini yang berjudul "Melawan Lupa, Menolak Mitos." Tema yang diangkat pada bagian ini adalah sejarah sebuah bangsa. Mengenai perjuangan seorang aktivis dan penulis, tentang kejahatan pemerintahan otoriter dan kediktatoran seorang pemimpin. Tentang sebagian warga negara yang tak takut mati demi menciptakan sebuah negara yang lebih baik lagi. Dalam bagian ini menyingkapkan beberapa kisah tentang perjuangan seorang Soe Hok Gie, Wiji Tuku, Munir, Che Guevara, Socrates, Pramudia Ananta Toer, Tan Malaka, Mohandas Karamachand Gandhi hingga gubernur Jakarta yang amat kontroersial, Bapak Ahok. Sejarah dan pemberontakan sangat kental pada bagian ke dua ini. Bagimana seorang yang tidak bersalah kemudian di hilangkan dari negaranya sendiri, merasa terancam berada di negaranya sendiri, dipenjarakan karena dianggap menyalahi aturan bernegara sampai pada kematian-kematian yang harus di hadapi. Membaca bagian kedua ini kita akan dihinggapi berbagai perasaan ngeri, bergidik, miris, sedih, suram dan mencekam.  Tapi pada bagian ini mengungkapkan banyak kisah tentang perjuangan anak bangsa melawan rezim-rezim yang tidak bertanggung jawab. Yang hanya mengandalkan kekuatan militer dalam membasmi kesalahan. Bab yang saya suka pada bagian ini adalah bab "Belajar Membaca."  Yang mengungkapkan fakta tentang betapa budaya membaca di pandang tidak menarik oleh masyarakat kita. Bagaimana acara televisi jauh lebih menarik dari pada sebuah buku, tentang kebjikan pemerintah yang kurang mendukung budaya membaca dengan memberikan pajak yang tinggi bagi para penulis, harga kertas yang mahal hingga berimbas pada mahalnya harga buku. Dan disisi lain, masih banyaknya buku yang dilarang beredar dengan berbagai alasan. Ada sebuah kutipan yang menarik pada bagian ini yang disampaikan oleh Joseph Brodsky, "Membakar buku adalah kejahatan. Tapi ada yang lebih jahat lagi, yakni tidak membaca buku."

Jika pada bagian pertama dan kedua buku ini mengungkap tentang kisah para penulis dan perjuangan mereka melwan pemerintahan, maka di bagian ketiga, kita akan disuguhkan dengan asal mula munculnya sesuatu. Berjudul "Rubah Gurun dan Hantu Komunis." Terdiri dari 20 esai,bagian ini akan membawa kita pada sebuah asal muasal lahirnya sebuah karya sastra, tentang bagaimana sebuah film ada, bagaimana tentang lembaga sensor film menjadi penentu beredar atau tidaknya sebuah film, disisi lain mengungkapkan sepak terjang sepak bola Indonesia hingga sebuah warisan budaya. Buat saya, bagian ini sedikit lebih kompleks pembahasannya dibandingkan dengan bagian satu dan dua. Dan seperti bagian-bagian sebelumnya, pada bagian ini saya juga memiliki satu bab yang paling saya suka, "Film dan Kebenaran yang Tersingkap." Menjelaskan tentang awal mula lahirnya sebuah film. Sampai pada masanya, kemunculan film dianggap sebagai ancaman, sebagai alat propaganda. Seperti yang dilakukan Hitler dan Nazi. Serta tak ketinggalan dalam sejarah nasional kita. "terwujud dalam sebuah film Penghianatan G 30 S/ PKI yang dimanfaatkan oleh rezim soeharto dan orde baru untuk menutupi sebuah kebenaran sejarah melalui penayangan sebuah film yang menggambarkan tentang betapa kejamnya orang komunis yang menyiksa dan membunuh para jendral angkatan darat. Sementara tak satu  adegan pun menyinggung soal pembantaian ratusan ribu orang yang dituduh komunis oleh tentara dan massa sebagai kelanjutan teragedi pembunuhan para jendral di Jakarta." -hal 312

Beragai fakta diungkapkan dalam buku ini, berbagai pemikiran yang menurut saya pun benar juga dinyatakan dalam buku ini dan berbagai pengetahuan baru yang saya dapat kan hanya dengan membaca satu buku ini. Saya rasa buku ini adalah buku terbaik pada bulan ini yang saya baca.

3/29/2017

Novel Klasik dan Anna Karenina



Beberapa minggu lalu, saya sedang menunggu kiriman paket buku yang saya pesan dari salah satu online shop dan kemarin buku itu baru saja saya terima. Saya membeli 4 buku karya sastra klasik karangan sastrawan Rusia, Leo Tolstoy yang berjudul Anna Karenina, Penulis Inggris Charles Dickens yang berjudul Great Expectations, Penulis dan jurnalis asal Amerika Serikat Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea dan satu lagi yang juga seorang penulis asal Amerika Serikat Pearl Sydenstricker Buck yang berjudul East Wind: West Wind yang tentu saja semuanya dalam bentuk terjemahan. Karena jujur saja saya terlalu pusing kalau melihat sebuah buku yang semua hurufnya membenuk sebuah kata dalam bahasa inggeris. Saat menerima paket ini saya sangat senang sekali. Ya saya memang selalu jatuh cinta dengan satra klasik. Buat saya, mereka punya keindahan tersendiri dalam pemilihan katanya. Selain itu, saya juga dapat melihat bagaimana kehidupan masyarakat era itu tanpa harus hidup dizamannya. Saya memutuskan untuk membaca novel Leo Tolstoy terlebih dahulu. Anna Karenina. Bukan tanpa pertimbangan, novel ini saya pilih karena sebelumnya saya sempat membaca biografi Leo Tolstoy dalam sebuah artikel.

Kalau sebelumnya saya selalu mereview buku-buku yang sudah saya baca, untuk kali ini saya akan memberikan pendapat tentang buku yang belum saya selesaikan. Anna Karenina membuat saya sedikit kecewa. Bukan karena ceritanya. Ceritanya memang sangat luar biasa dan membuat saya tidak pernah bisa berhenti untuk membaca. Yang saya kecewakan disini adalah novel ini sudah kehilangan identitasnya. Penerjemahnya sudah menerjemahkan dengan baik. Namun ada satu bagian yang membuat saya terkagum-kagum pada sastra klasik namun tidak saya temukan didalam novel ini. Adalah gaya bahasanya. Buat saya novel ini sudah bermetamorfosis terlalu jauh. Gaya bahasanya menggunakan gaya bahasa saat ini. Bukan yang begitu baku dan terkesan sopan. Saya kehilangan salah satu unsure interinsik dalam novel ini yang biasanya saya temukan di novel-novel klasik.
Sedikit perbandingan, dulu saat saya masih SMA, saya menemukan sebuah novel di perpustakaan sekolah yang belakangan saya ketahui adalah sebuah karangan Mustafa Lutfi Al Mantaluthi judulnya Sang Penyair. Dan saya langsung jatuh cinta pada novel ini dilembaran pertamanya. Saya ingat sekali waktu itu saya menghilangkan kartu perpustakaan yang menjadi syarat jika ingin membawa pulang buku. Jadi saya selalu datang ke perpustakaan untuk menghatamkan buku luar biasa itu disaat jam istirahat atau jika sedang tidak ada guru di kelas. Namun karena saya sudah tidak tahan membaca hanya dalam waktu luang saja, saya memutuskan untuk membawa pulang buku itu secara diam-diam dan menghatamkannya dirumah.  Buat saya, buku itu adalah cinta pertama saya terhadap sastra klasik. Gaya bahasanya benar-benar indah. Kisahnya tergambar jelas diatas kepala saya dan semua karakternya memiliki nyawa. Kemudian saya juga pernah membaca novel karangan dari seorang ulama besar Indonesia-Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Dan lagi-lagi saya jatuh cinta dengan novel ini. Selanjutnya, ada satu novel klasik lagi berjudul Padang Karbala-Telaga Darah dan Air Mata yang ditulis oleh George Zeidan dan diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf. Novel ini berkisah tentang kematian Imam Husein, R.A-Cucu Rasulullah S.A.W-  di padang karbala. Tentang sebuah pengorbanan dan cinta. Dan sekali lagi saya tidak bisa mengalihkan perhatian saya dari novel yang indah ini. Sejak saat itu saya menaruh ekspektasi tinggi terhadap karya sastra klasik. Bagi saya semakin tua usia buku semakin dia berharga dan indah. Tapi sayang sekali saya tidak menemukan itu dalam Anna Karenina.



 (sumber : google)
Penasaran apakah hanya saya yang merasakan hal itu, semalam saya mencoba mencari-cari artikel tentang novel ini. Dan saya menemukan satu fakta yang lain. Novel ini ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Rusia oleh seorang penulis yang juga seorang filusuf Rusia. Count Leo Nicolayevic Tolstoy. Mulanya, Novel ini berisikan sekitar 1500 halaman tidak heran Tolstoy menulisnya dalam kurun waktu 4 tahun. Sementara novel yang sedang saya baca saat ini adalah hasil dari sebuah karangan yang ditulis ulang atau mungkin saduran oleh seseorang yang saya lupa namanya sehingga hanya dibuat 214 halaman. Saat itu saya mulai mengerti mengapa novel ini tidak seperti novel-novel klasik lainnya yang pernah saya baca. Karena novel ini adalah sebuah saduran dimana penulisnya akan menulis ulang novel asli dalam bahasanya sendiri. Ya niatnya memang baik, supaya semua kalangan bisa membaca. Tapi tetap saja buat saya penyadurnya sudah menghilangkan unsure interinsik dari novel ini. Yang saya suka dari sebuah sastra klasik adalah ketika saya berfikir keras untuk memahami maksud dari apa yang tertulis di dalamnya. Buat saya itu adalah sebuah ilmu yang sangat bermanfaat karena saya akan menemukan satu atau ratusan lebih kosakata baru hanya pada satu buah buku. Tapi itu hanya pendapat saya. Seseorang yang memuja satra klasik. Tetap saja kita harus memberi penghargaan atas usaha seseorang yang sudah menuliskan ulang novel ini dalam bahasa yang lebih sederhana. Oh iya, buat kalian yang sedang menimang-nimang apakah akan membeli buku ini atau tidak, jangan terpengaruh dengan tulisan saya ini, silahkan beli dan baca sendiri karena ceritanya sangat menarik dan penuh liku. Luar biasa. Lain waktu akan saya review setelah saya menyelesaikan membacanya.

3/23/2017

Review Buku Belajar Bijak Dari Sam !

Sejak diawal bulan maret kemarin, ada beberapa buku yang sudah saya rampungkan sampai dengan malam ini. Diantaranya ada My Sister Keepers karya Jodi Picoult, ada Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, ada Tidak Ada New York Hari ini karya Aan Mansyur dan terakhir buku motivasi Belajar Bijak Dari Sam karya Daniel Gottlieb, Phd. Diantara buku-buku bulan maret saya, yang paling berkesan dihati saya adalah buku Belajar Bijak Dari Sam. Entah mungkin karena saya baru saja memutuskan resign dari pekerjaan jadi mungkin saya sedang membutuhkan banyak motivasi untuk melanjutkan hidup saya dan dibuku ini, saya menemukan bahwa saya telah menjadi orang yang paling buruntung. Atas dasar apa saya mengatakan demikian? Sementara dari pandangan orang-orang normal, kondisi dimana kita menjadi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali tidak berpenghasilan sama sekali adalah lebih sering dipandang sebelah mata, sehingga mau tak mau keadaan ini menjadi momok buat kepercayaan diri kita untuk ikut bergabung di dalam perkumpulan keluarga atau teman-teman yang tentunya sudha memiliki penghasilan sendiri. Tapi buku ini memberi tahu saya bahwa saya adalah orang yang paling bahagia.

Belajar Bijak Dari Sam merupakan karangan dari seorang kakek dari cucu yang memiliki keterbelakangan mental. Sam adalah anak yang special. Dia terlahir berbeda dari teman-temannya. Dan Daniel menemukan keunikan tersendiri dari dalam diri Sam yang membuatnya banyak belajar tentang kehidupan dari anak kecil tersebut. Setelah mengalami kecelakaan dan membuat kakinya lumpuh, Daniel semakin menyadari pentingnya kesabaran, penerimaan, rasa syukur dan harapan. Hal itulah yang ingin diajarkannya pada cucunya Sam. Tapi dalam prosesnya, Daniel menyadari bahwa justru dia lah yang mendapatkan pelajaran tentang nilai-nilai universal tersebut dari Sam.

Sam mengajarkan Daniel dan saya tentang berkata jujur. Ada satu bagian di dalam buku, di bab pertama yang menceritakan tentang kejujuran Sam. Karena keterbatasan mentalnya, Sam merasa orang-orang yang memecah konsentrasinya sebagai pengganggu yang akan sulit dimaafkannya. Suatu ketika, saat Sam yang senang menggambar meminta ibunya mengambilkan warna turquoise dari krayon-krayonnya tapi saat dia hendak menggoreskan krayon yang diambilkan ibunya, mendadak tangannya membeku karena ternyata krayon yang diambilkan ibunya adalah krayon yang berwarna biru muda. Saat itu Sam langsung menuduh ibunya tidak berkonsentrasi. Dan saat ibunya bertanya apakah dia mau memaafkannya? Sam menjawab, “Sedikit.” Melalui hal sepele ini, Sam mengajarkan kita arti konsisten. Dia tidak suka, maka dia akan mengatakannya dengan gamblang. Dan ketika orang yang mengganggunya meminta maaf sata dia masih belum bisa melupakannya, maka dia akan mengatakan dengan jujur bahwa dia baru sedikit memaafkannya.

Dibab lain, tentang kisah Sam yang paling melekat dikepala saya adalah tentang percakapannya dengan kakeknya si Daniel Gottlieb. Saat itu Daniel melemparkan pertanyaan kepada Sam mengenai perbedaan Sam dengan yang lain.
“sam, apakah kau merasa sama seperti anak-anak lain? Atau berbeda?”
Lalu saat itu, Sam berfikir sejenak sebelum dia menjawab. “berbeda.”
Daniel kembali bertanya, “menurutmu apa yang membuatmu berbeda dari anak-anak lain?”
Sam kembali menjawab, “aku lebih baik hati.”
Saat itu, Daniel menguraikan tentang jawaban Sam. Dia kembali mengingat-ingat kebersamaannya bersama Sam, dan dia setuju untuk jawaban Sam yang satu itu. Daniel ingat, ketika dia bermain basket bersama Sam. Sam melempar bola sementara Daniel berusaha menangkapnya. Kadang Daniel menangkapnya tapi kadang bolanya lolos dari tangannya. Tapi entah dia menangkap bolanya atau tidak, Sam akan selalu memujinya. “tangkapan yang hebat”  atau “usaha yang bagus.” Ya Sam memang benar, dia berbeda karena dia lebih baik dari anak-anak yang lain. Sam mengajarkan untuk selalu menghargai apapun usah ayang sudah dilakukan orang lain.

Selain kisah tentang Sam, kisah tentang Daniel si kakek juga mengajarkan banyak hal untuk saya. Tentang keikhlasannya merelakan kakinya akibat kecelakaan yang dialaminya. Atau tentang dia yang merelakan pekerjaannya sebagai seorang penulis kolom. Tentang makna bahagia menurut seorang Daniel yang saya setujui. Mungkin karena saya mengalami nasib yang sama dengannya.
Disalah satu bab, Daniel bercerita tentang betapa dilemanya dia saat memutuskan akan melepaskan pekerjaannya sebagai seorang penulis kolom. Tentunya akan banyak pertimbangan-pertimbangan ketika kita akan melepaskan sesuatu yang telah begitu melekat dengan diri kita. Dan tentu saja ada beberapa pertanyaan yang ikut-ikutan mencuat dikepala kita. Apakah tindakan kita sudah benar? apakah kita bodoh dengan meninggalkan pekerjaan yang sudah melekat dengan kita? yang sudah membuat kita jauh lebih baik. Apakah kita akan menjadi lebih baik setelah ini? Lalu, Daniel menyadari satu hal, bahwa setelah dia melepaskan apa yang telah melekat dengannya, sesuatu yang tak terduga akan mengisi tempatnya. Dia menyadari bahwa dia akan semakin mempnyai banyak kesempatan dalam hidupnya.  Memiliki waktu lebih banyak bersama orang-orang tircinta, mengamati musim berganti, menghirup aroma rumput, mendengarkan suara lautan dan tentu saja suara cucunya. Daniel menyadarkan saya bahwa bahagia bukan melulu melalui materi. Bahagia adalah waktu. Bahagia adalah kesempatan.  
 Ada satu kalimat yang sangat saya sukai dari Daniel Gottlieb,
“kualitas hidup kitabukanlah tentang apa yang kita punya atau apa yang sudah kita raih; itu adalah tentang apa yang telah kita ikhlaskan.”



Bahwa tentang hidup, kita tidak perlu takut akan masa depan. Semua sudah ada yang mengatur. Kita hanya perlu menjalani, menikmati dan tentu saja terus berusaha.
Rasa-rasanya ada banyak hal yang ingin saya share disini tentang buku ini, tapi setelah saya pikir-pikir lagi, mungkin kalian lebih baik membelinya dan membaca seluruh isinya.

12/25/2016

Review Buku Sabtu Bersama Bapak

Saya nggak tahu kenapa saya suka sekali dengan malam sementara saya membenci gelap. Mungkin karena saya menyukai kesunyian. Seperti yang semua orang tahu, Tuhan tidak pernah menciptakan sebuah kekurangan tanpa memberikan sedikit kelebihan. Dan buat saya, itulah kelebihan dari malam. Sunyinya yang selalu berhasil membuat saya merasa tenang sejenak. Dan malam menjadi satu bagian yang berperan penting atas semua yang saya tulis.

Seperti saat ini, saya kembali mendapat inspirasi dari malam untuk mereview kembali salah satu buku favorit saya. Buku yang paling membuat saya jatuh cinta dan berhasil membuat saya tidak merasa bosan meski sudah membacanya berkali-kali. Judulnya Sabtu Bersama Bapak karangan dari  mas Aditya Mulya.

Dulu buku ini sering sekali saya temukan di salah satu rak khusus novel di toko buku gramedia di kota saya. Tapi saya gak pernah merasa tertarik untuk membawanya ke kasir. Karena jujur saja, saya kurang begitu suka dengan buku bertema keluarga. Tapi ketika suatu malam saat saya membuka-buka instagram, (@syahharbanu) saya menemukan sebuah informasi kalau buku ini akan segera difilmkan. Ada beberapa video potongan  dari cuplikan filmnya yang beredar dan saat itu saya mulai merasa tertarik. Di awal bulan, setelah menerima gaji, saya kembali ke gramedia dan kali itu saya menenteng buku Sabtu Bersama Bapak ke kasir.
  
Cerita yang sangat menarik dan berhasil membuat saya nggak berhenti membaca sejak membuka lembaran pertama. 

Di awal bab, dikisahkan seorang laki-laki berusia 38 tahu, Gunawan Garnida yang sedang mempersiapkan diri untuk merekam dirinya dengan handycam. Laki-laki itu adalah bapak dari dua orang anak bernama Cakra Garnida dan Satya Garnida yang akan menghadapi kematian dalam waktu dekat. Karena keinginannya untuk mendidik anak-anaknya hingga dewasa, dia memutuskan untuk merekam beberapa video yang dapat membantu istrinya untuk membimbing kedua putra mereka. Video ini lah yang ditonton Satya dan Cakra setiap hari sabtu. Dan video yang berisi pesan-pesan dari bapak itu mengantarkan mereka menjadi seorang laki-laki dewasa. Yang tidak hanya dewasa umur tapi juga dewasa dalam berfikir dan beakhlak.

Satya
si sulung yang perfectionis. Dia menginginkan dunianya berjalan seperti apa yang bapak ajarkan padanya. Ambisius dan pekerja keras. Satya menikahi seorang gadis bernama Rissa dan mempunyai dua orang anak dari hasil pernikahan mereka. Satya yang selalu semuanya ingin terlihat sempurna, bahkan dalam mendidik anak-anaknya, Satya menerapkan apa yang diajarkan bapaknya dari dia. Hingga tanpa sadar, hal itu membuat anak-anaknya takut dan mulai menjaga jarak padanya. Disinilah konflik si Satya. Dia merasa apa yang diajarkan bapaknya itu memang benar. Karena terlihat jelas hasilnya pada dirinya yang begitu sukses. Tapi ternyata, Rissa dan kedua anaknya tidak menginginkan Satya yang seperti bapaknya. Mereka hanya ingin Satya yang seperti Satya.

Cakra
si fakir cinta. Buku ini menjadi semakin menarik dengan adanya tokoh Cakra ini. Laki-laki sukses, memiliki tampang yang sedikit enak dipandang dan sudah punya rumah sendiri, sayangnya dia masih saja jomblo. Dan yang lebih naasnya, Cakra yang tak pernah menjalin hubungan menjadi seorang laki-laki yang akan bersikap konyol dihadapan wanita yang disukai.

Saya sangat suka dengan tokoh Cakra ini. Bos yang begitu bersahabat dengan karyawannya. Humoris, santai tapi pekerja keras. Cakra ini juga dikisahkan sedikit lebih alim. Dan yang membuat saya jatuh cinta pada tokoh ini, pemikiran Cakra yang dibuat begitu dewasa.

Suatu hari, ada karyawan baru yang datang ke kantor mereka. Ayu namanya. Dan sejak pertama melihat Ayu, Cakra sudah jatuh cinta pada perempuan itu. Dan semakin jatuh cinta ketika dia selalu melihat sepatu Ayu ada di rak sepatu mushola. Cakra, dibantu beberapa karyawannya, Firman, Wati dan masih ada yang lainnya tapi saya lupa namanya, mencoba medekati Ayu. Tapi emang dasar Cakra yang memang selalu payah di depan wanita, tak jarang ia melakukan tindakkan-tindakkan konyol di depan Ayu yang membuat Ayu merasa Cakra sedikit aneh. Ayu yang pernah punya pengalaman traumatik dengan laki-laki aneh memutuskan untuk menjaga jarak dengan Cakra dan memilih untuk membuka hati dengan rekan kerjanya yang lain. Salman. Saat mendengar Salman telah menyatakan cintanya dengan Ayu, Cakra sedikit merasa putus asa dan setuju untuk bertemu dengan perempuan yang dijodohkan ibunya.

Ibu Itje
Perempuan kuat yang sudah menjadi single mother sejak anak-anaknya masih kecil. Perempuan yang berhasil membawa anak-anaknya menuju kesuksesan. Di hari tuanya, ibu Itje divonis dokter menderita kanker payudara. Karena pesan suaminya "ingat, waktu dulu kita jadi anak, kita gak nysahin orang tua. Nanti kalau kita sudah tua, kita gak nyusahin anak." Membuat ibu Itje memutuskan untuk menyembunyikan penyakitnya dari kedua anaknya. Beliau mencoba melawan sakitnya sendiri, berobat sendiri hingga melakukan operasi tanpa sepengetahuan kedua anaknya. Hanya satu yang ditakutkan ibu Itje jika anak-anak mereka tahu, Satya yang berada diluar negeri sana akan uring-uringan dan pasti akan langsung terbang ke Indonesia untuk menengoknya. Dan Cakra, Jelas, anaknya yang satu itu akan melupakan kegiatannya dalam mencari jodoh. Sementara, ibu itje sudah sangat ingin mengantarkan Cakra ke plaminan. Karena keinginannya untuk melihat Cakra menikah membuat ibu Itje mencoba menjodohkan Cakra dengan salah satu anak perempuan temannya.

Setiap karakter dalam buku ini memiliki daya tarik sendiri-sendiri. Bapak Gunawan Garnida yang mempunyai cara sendiri untuk mendidik anak-anaknya agar mereka tak meresa kekurangan kasih sayang dari seorang ayah, Ibu itje yang begitu tegar menjalani kehidupan setelah suaminya meninggal hingga berhasil mengantarkan kedua anak laki-lakinya menuju pernikahan. Satya yang selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan membuat keluarganya hidup lebih baik. Cakra dengan berbagai macam kekonyolanya, kedewasaannya dan keuletannya dalam bekerja. Namun satu yang pasti, kedua anak ini sangat mencintai ibu mereka.

Yang saya suka dari buku ini adalah, Aditya Muliya berhasil menyajikan kisah dalam kehidupan sehari-hari. kehidupan seorang single parent, kehidupan seorang laki-laki yang takut keluarganya akan mengalami kesulitan jika bersama dia hingga mengubahnya menjadi orang yang perfectionis. Kehidupan seorang laki-laki yang sudah memasuki usia 30 tahun, mapan, sudah siap menikah, tapi memiliki krisis kepercayaan diri terhadap perempuan. Ada begitu banyak pesan moral dari buku ini yang dapat kita ambil dari rekaman video pak Gunawan Garnida, kisah ibu itje, Satya dan Cakra. Pesan dalam mendidik anak. Pesan menjadi seorang laki-laki dewasa. Pesan menjadi seorang yang mandiri dan pantang putus asa. Pesan untuk membentuk pribadi yang jauh lebih baik setiap harinya. 

Saya benar-benar sangat suka sekali dengan buku yang satu ini, Sabtu Besama Bapak.


12/14/2016

REVIEW BUKU WIJI THUKUL-TEKA-TEKI ORANG HILANG




Beberapa bulan lalu, saya baru saja merampungkan buku yang mengulas perjalanan hidup seorang yang berpengaruh pada pergolakan politik di tahun 1998. Wiji Thukul.  Mungkin tidak banyak yang tahu tentang aktivis cadel yang tidak dapat melafalkan huruf 'r' ini. Terlebih dikalangan anak muda di era modern ini. Begitupun dengan saya yang terbilang baru mengenal  sosokWiji Thukul. Nama Wiji Thukul sendiri saya dengar pertama kali dari pembicaraan singkat dengan seorang teman saat kami membahas mengenai politik Indoneisa diera ketika kami masih dalam buaian. Pembahasan yang selalu membuat kami sanggup untuk begadang hingga larut malam. Kala itu, saya menceritakan kepadanya tentang salah seorang mahasiswa pemberani yang menentang pemerintahan soekarno. Soe Hok Gie namanya. Saya membahas tentang keberanian pemuda itu. Rasa nasionalisme dan kepeduliannya terhadap orang melarat yang dianggap sebagai kambing hitam untuk mengcoh pergerakan PKI yang menyebar di Indonesia. Soe Hok Gie yang tidak gentar. Soe Hok Gie yang    berjiwa besar. Dan saat itu pembahasan kami menjurus pada sosok lainnya. Teman saya menyebut salah seorang aktivis lagi yang saat itu namanya masih asing di telinga saya. Wiji Thukul. Dalam benak saya Wiji Thukul ini adalah orang kampung, yang hidup sederhana dan tinggal di sebuah rumah biasa saja di sebuah desa. Taman saya bilang Wiji ini adalah orang gila yang berani menentang pemerintahan orde baru kala itu melalui puisi-puisi buatannya. Melalui puisi-puisi itu, Wiji memaparkan penentangannya terhadap pemerintah kala itu. Puisi-puisinya dianggap sebagai propaganda untuk menyulut pergerakan kaum buruh dan tani untuk menentang pemerintahan orde baru. Hingga pada akhirnya, nama wiji mulai disebut-sebut diradio-radio dan televisi. Beberapa orang mulai dikerahkan untuk mencari keberadaan Wiji yang dianggap sebagai ancaman.  Hingga pada akhirnya Wiji menghilang. Kabur dari kejaran pemerintahan. Wiji menghilang. satu kalimat itu terus menggema ditelinga saya. Dalam benak saya, apa tidak bisa menyelesaikannya secara baik-baik? Secara hukum yang adil? tanpa harus membuat seorang warga merasa ketakutan hingga kabur dari negaranya sendiri. Lalu, sebagaian benak saya yang lain juga mulai angkat bicara. Mungkin ada satu aktivitas Wiji yang dianggap merugikan. Mungkin ada sesuatu yang dilakukan Wiji sehingga dia harus di tangkap. Bukankah pemerintah akan selalu berbuat yang terbaik untuk negaranya? Lalu, saya memutuskan untuk mencari keberadaan buku yang mengulas tentang kejadian dimasa ordebaru. Khususnya mengenai Wiji Thukul. Dan setelah cukup lama mencari, akhirnya buku ini saya temukan disalah satu toko buku di Kota saya. Buku ini merupakan seri buku tempo prahara orde baru berjudul Wiji Thukul. Teka-teki orang hilang. Buku ini berisi tentang perjalanan wiji thukul, kisah hidupnya, pengakuan-pengakuan orang-orang yang pernah di culik dalam kisruh kudatuli dan keterangan sahabat tentang Wiji Thukul.
Membicarakan politik memang tidak pernah ada habisnya.  Orde baru menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah di tanah air. Pada masa itu, saya yang kelahiran tahun 1993 sama sekali tidak mengerti kisruh yang terjadi kala itu.  sampai pada akhirnya saya menemukan seri buku tempo ini. satu persatu rasa penasaran saya tentang kisruh orde baru mulai terkuak. Krisis moneter, demonstrasi-demonstrasi, serta tragedi jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto. Dan mungkin masih banyak lagi pristiwa bersejarah lainnya yang tak dapat dipaparkan satu-persatu dalam buku setebal 160 halaman ini.  Tapi, buku ini membawa saya mengenal salah seorang aktivis yang keberadaannya cukup berpengaruh dalam peristiwa kudatuli yang begitu fenomenal. Wiji Thukul. Seniman cadel yang sampai saat ini masih tak dapat diketahui rimbanya.
Wiji Thukul, satu dari sekian banyak aktivis yang nasipnya begitu malang di Negeri sendiri. keputusannya untuk terjun ke politik praktis telah menyeretnya pada kesialan.  pada salah satu bab di dalam buku ini mengisahkan awal mula Thukul menjadi seorang yang begitu di cari-cari. Nama asli Thukul sebenarnya dalah Wiji Widodo. Sejak bergabung dibengkel teater yang di asuh oleh W. S. Rendra, ia diperkenalkan oleh salah satu anggota dengan Lawu Warta. Dan beliaulah yang mengganti nama Wiji Widodo menjadi Wiji Thukul yang artinya Biji Tumbuh.  Di teater ini Thukul ditempa menjadi seorang seniman yang hebat.

Kecintaan Wiji Thukul dengan seni memunculkan  bakat baru dalam dirinya. Thukul gemar menulis puisi. Beberapa puisinya sempat ia kirim ke beberapa koran. Dengan bermodal puisi pula Wiji Thukul mengamen dari rumah ke rumah. Puisi-puisi Wiji Thukul berisikan kritikan pedas terhadap rezim pemerintahan orde baru yang dianggap makin represif. Terlebih lagi setelah terjadi pembubaran seni instalasi patung marsinah, buruh yang diculik serta dibunuh setelah melakukan mogok kerja. Marsinah menjadi symbol penderitaan dan perlawanan buruh. Saat itu, Thukul bersama kedua sahabatnya yang merasa prihatin karena tidak adanya kerja sama para seniman memutuskan untuk membentuk jaringan kerja seniman yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas anatar seniman.  Namun pada akhirnya jaringan kerja seni ini menjurus pada politik praktis setelah  sejumlah aktivis PRD mencoba memanfaatkan jaker menjadi organ partai untuk menarik masa. Pada saat itu, kedua sahabat Thukul tidak setuju jika jaker dijadikan sayap partai. Namun Thukul tidak gentar.  Melalui puisi-puisinya, pamphlet-pamphlet serta poster-poster, Thukul menyerukan kritikannya pada pemerintahan. Menggerakkan pasukan buruh dan tani untuk melakukan perlawanan.  Hingga pada akhirnya ia dituduh sebagai salah satu alasan terjadinya kisruh 27 juli. Menjelang terjadinya kasus kudatuli, Wiji menghilang. Tak tahu rimbanya hingga kini.

Dalam kasus itu beberapa kerabat wiji thukul ditangkap untuk mencari tahu keberadaan seniman yang tak dapat melafalkan huruf ‘R’ itu. Tapi tak satupun dari mereka angkat bicara. sebagian memang tak tahu keberadaan wiji Thukul yang sudah lama tak terlihat lagi. namun sebagian yang lain memilih menutup mulut.  Dalam penculikan itu mereka mendapat perlakuan buruk. Disiksa, dipukuli bahkan ada beberapa dari mereka yang tewas. Tragedy ini meninggalkan traumatic mendalam bagi para aktivis. Beberapa diantara mereka bahkan hingga kini masih tak dapat ditemukan keberadaannya.

 Jujur saja, saat membaca buku ini, membuka lembaran pertamanya saja sudah berhasil mengenyuh hati saya.  Hingga pada satu bagian yang menceritakan bagaimana para aktivis itu disiksa, lari tunggang langgang dari kejaran ABRI dan bersembunyi hingga tak pernah lagi kembali ke kerabat mereka hingga kini membuat saya tak dapat menahan air mata.

Saya setuju jika mereka memang salah. Para aktivis mungkin mengambil jalan yang terlalu jauh untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi disisi lain saya juga tidak setuju dengan tindakkan para ABRI yang begitu keras terhadap para aktivis. Terhadap orang-orang yang menyampaikan aspirasinya. Apakah tidak ada jalan yang lebih layak lagi yang dapat ditempuh selain menyiksa dan menghilangkan nyawa? Saya rasa tidak. Masih sangat banyak jalan yang dapat diambil untuk membungkam para aktivis. Mungkin pemerintah memang harus mendengarkan kritikan mereka. Mencoba mencari tahu apa keinginan mereka. apa yang membuat mereka telah begitu marah hingga terjun terlalu dalam ke politik. Mereka, wiji Thukul dan beberapa aktivis lainnya hanya sebagian kecil dari orang-orang yang pendapatnya ingin di dengar.