12/14/2016

REVIEW BUKU WIJI THUKUL-TEKA-TEKI ORANG HILANG




Beberapa bulan lalu, saya baru saja merampungkan buku yang mengulas perjalanan hidup seorang yang berpengaruh pada pergolakan politik di tahun 1998. Wiji Thukul.  Mungkin tidak banyak yang tahu tentang aktivis cadel yang tidak dapat melafalkan huruf 'r' ini. Terlebih dikalangan anak muda di era modern ini. Begitupun dengan saya yang terbilang baru mengenal  sosokWiji Thukul. Nama Wiji Thukul sendiri saya dengar pertama kali dari pembicaraan singkat dengan seorang teman saat kami membahas mengenai politik Indoneisa diera ketika kami masih dalam buaian. Pembahasan yang selalu membuat kami sanggup untuk begadang hingga larut malam. Kala itu, saya menceritakan kepadanya tentang salah seorang mahasiswa pemberani yang menentang pemerintahan soekarno. Soe Hok Gie namanya. Saya membahas tentang keberanian pemuda itu. Rasa nasionalisme dan kepeduliannya terhadap orang melarat yang dianggap sebagai kambing hitam untuk mengcoh pergerakan PKI yang menyebar di Indonesia. Soe Hok Gie yang tidak gentar. Soe Hok Gie yang    berjiwa besar. Dan saat itu pembahasan kami menjurus pada sosok lainnya. Teman saya menyebut salah seorang aktivis lagi yang saat itu namanya masih asing di telinga saya. Wiji Thukul. Dalam benak saya Wiji Thukul ini adalah orang kampung, yang hidup sederhana dan tinggal di sebuah rumah biasa saja di sebuah desa. Taman saya bilang Wiji ini adalah orang gila yang berani menentang pemerintahan orde baru kala itu melalui puisi-puisi buatannya. Melalui puisi-puisi itu, Wiji memaparkan penentangannya terhadap pemerintah kala itu. Puisi-puisinya dianggap sebagai propaganda untuk menyulut pergerakan kaum buruh dan tani untuk menentang pemerintahan orde baru. Hingga pada akhirnya, nama wiji mulai disebut-sebut diradio-radio dan televisi. Beberapa orang mulai dikerahkan untuk mencari keberadaan Wiji yang dianggap sebagai ancaman.  Hingga pada akhirnya Wiji menghilang. Kabur dari kejaran pemerintahan. Wiji menghilang. satu kalimat itu terus menggema ditelinga saya. Dalam benak saya, apa tidak bisa menyelesaikannya secara baik-baik? Secara hukum yang adil? tanpa harus membuat seorang warga merasa ketakutan hingga kabur dari negaranya sendiri. Lalu, sebagaian benak saya yang lain juga mulai angkat bicara. Mungkin ada satu aktivitas Wiji yang dianggap merugikan. Mungkin ada sesuatu yang dilakukan Wiji sehingga dia harus di tangkap. Bukankah pemerintah akan selalu berbuat yang terbaik untuk negaranya? Lalu, saya memutuskan untuk mencari keberadaan buku yang mengulas tentang kejadian dimasa ordebaru. Khususnya mengenai Wiji Thukul. Dan setelah cukup lama mencari, akhirnya buku ini saya temukan disalah satu toko buku di Kota saya. Buku ini merupakan seri buku tempo prahara orde baru berjudul Wiji Thukul. Teka-teki orang hilang. Buku ini berisi tentang perjalanan wiji thukul, kisah hidupnya, pengakuan-pengakuan orang-orang yang pernah di culik dalam kisruh kudatuli dan keterangan sahabat tentang Wiji Thukul.
Membicarakan politik memang tidak pernah ada habisnya.  Orde baru menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah di tanah air. Pada masa itu, saya yang kelahiran tahun 1993 sama sekali tidak mengerti kisruh yang terjadi kala itu.  sampai pada akhirnya saya menemukan seri buku tempo ini. satu persatu rasa penasaran saya tentang kisruh orde baru mulai terkuak. Krisis moneter, demonstrasi-demonstrasi, serta tragedi jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto. Dan mungkin masih banyak lagi pristiwa bersejarah lainnya yang tak dapat dipaparkan satu-persatu dalam buku setebal 160 halaman ini.  Tapi, buku ini membawa saya mengenal salah seorang aktivis yang keberadaannya cukup berpengaruh dalam peristiwa kudatuli yang begitu fenomenal. Wiji Thukul. Seniman cadel yang sampai saat ini masih tak dapat diketahui rimbanya.
Wiji Thukul, satu dari sekian banyak aktivis yang nasipnya begitu malang di Negeri sendiri. keputusannya untuk terjun ke politik praktis telah menyeretnya pada kesialan.  pada salah satu bab di dalam buku ini mengisahkan awal mula Thukul menjadi seorang yang begitu di cari-cari. Nama asli Thukul sebenarnya dalah Wiji Widodo. Sejak bergabung dibengkel teater yang di asuh oleh W. S. Rendra, ia diperkenalkan oleh salah satu anggota dengan Lawu Warta. Dan beliaulah yang mengganti nama Wiji Widodo menjadi Wiji Thukul yang artinya Biji Tumbuh.  Di teater ini Thukul ditempa menjadi seorang seniman yang hebat.

Kecintaan Wiji Thukul dengan seni memunculkan  bakat baru dalam dirinya. Thukul gemar menulis puisi. Beberapa puisinya sempat ia kirim ke beberapa koran. Dengan bermodal puisi pula Wiji Thukul mengamen dari rumah ke rumah. Puisi-puisi Wiji Thukul berisikan kritikan pedas terhadap rezim pemerintahan orde baru yang dianggap makin represif. Terlebih lagi setelah terjadi pembubaran seni instalasi patung marsinah, buruh yang diculik serta dibunuh setelah melakukan mogok kerja. Marsinah menjadi symbol penderitaan dan perlawanan buruh. Saat itu, Thukul bersama kedua sahabatnya yang merasa prihatin karena tidak adanya kerja sama para seniman memutuskan untuk membentuk jaringan kerja seniman yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas anatar seniman.  Namun pada akhirnya jaringan kerja seni ini menjurus pada politik praktis setelah  sejumlah aktivis PRD mencoba memanfaatkan jaker menjadi organ partai untuk menarik masa. Pada saat itu, kedua sahabat Thukul tidak setuju jika jaker dijadikan sayap partai. Namun Thukul tidak gentar.  Melalui puisi-puisinya, pamphlet-pamphlet serta poster-poster, Thukul menyerukan kritikannya pada pemerintahan. Menggerakkan pasukan buruh dan tani untuk melakukan perlawanan.  Hingga pada akhirnya ia dituduh sebagai salah satu alasan terjadinya kisruh 27 juli. Menjelang terjadinya kasus kudatuli, Wiji menghilang. Tak tahu rimbanya hingga kini.

Dalam kasus itu beberapa kerabat wiji thukul ditangkap untuk mencari tahu keberadaan seniman yang tak dapat melafalkan huruf ‘R’ itu. Tapi tak satupun dari mereka angkat bicara. sebagian memang tak tahu keberadaan wiji Thukul yang sudah lama tak terlihat lagi. namun sebagian yang lain memilih menutup mulut.  Dalam penculikan itu mereka mendapat perlakuan buruk. Disiksa, dipukuli bahkan ada beberapa dari mereka yang tewas. Tragedy ini meninggalkan traumatic mendalam bagi para aktivis. Beberapa diantara mereka bahkan hingga kini masih tak dapat ditemukan keberadaannya.

 Jujur saja, saat membaca buku ini, membuka lembaran pertamanya saja sudah berhasil mengenyuh hati saya.  Hingga pada satu bagian yang menceritakan bagaimana para aktivis itu disiksa, lari tunggang langgang dari kejaran ABRI dan bersembunyi hingga tak pernah lagi kembali ke kerabat mereka hingga kini membuat saya tak dapat menahan air mata.

Saya setuju jika mereka memang salah. Para aktivis mungkin mengambil jalan yang terlalu jauh untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi disisi lain saya juga tidak setuju dengan tindakkan para ABRI yang begitu keras terhadap para aktivis. Terhadap orang-orang yang menyampaikan aspirasinya. Apakah tidak ada jalan yang lebih layak lagi yang dapat ditempuh selain menyiksa dan menghilangkan nyawa? Saya rasa tidak. Masih sangat banyak jalan yang dapat diambil untuk membungkam para aktivis. Mungkin pemerintah memang harus mendengarkan kritikan mereka. Mencoba mencari tahu apa keinginan mereka. apa yang membuat mereka telah begitu marah hingga terjun terlalu dalam ke politik. Mereka, wiji Thukul dan beberapa aktivis lainnya hanya sebagian kecil dari orang-orang yang pendapatnya ingin di dengar.  
 



Tidak ada komentar: