
Membicarakan politik memang tidak
pernah ada habisnya. Orde baru menjadi
salah satu peristiwa paling bersejarah di tanah air. Pada masa itu, saya yang
kelahiran tahun 1993 sama sekali tidak mengerti kisruh yang terjadi kala
itu. sampai pada akhirnya saya menemukan
seri buku tempo ini. satu persatu rasa penasaran saya tentang kisruh orde baru
mulai terkuak. Krisis moneter, demonstrasi-demonstrasi, serta tragedi jatuhnya
kepemimpinan presiden Soeharto. Dan mungkin masih banyak lagi pristiwa
bersejarah lainnya yang tak dapat dipaparkan satu-persatu dalam buku setebal
160 halaman ini. Tapi, buku ini membawa
saya mengenal salah seorang aktivis yang keberadaannya cukup berpengaruh dalam
peristiwa kudatuli yang begitu fenomenal. Wiji Thukul. Seniman cadel yang
sampai saat ini masih tak dapat diketahui rimbanya.
Wiji Thukul, satu dari sekian banyak
aktivis yang nasipnya begitu malang di Negeri sendiri. keputusannya untuk
terjun ke politik praktis telah menyeretnya pada kesialan. pada salah satu bab di dalam buku ini
mengisahkan awal mula Thukul menjadi seorang yang begitu di cari-cari. Nama
asli Thukul sebenarnya dalah Wiji Widodo. Sejak bergabung dibengkel teater yang
di asuh oleh W. S. Rendra, ia diperkenalkan oleh salah satu anggota dengan Lawu
Warta. Dan beliaulah yang mengganti nama Wiji Widodo menjadi Wiji Thukul yang
artinya Biji Tumbuh. Di teater ini
Thukul ditempa menjadi seorang seniman yang hebat.
Kecintaan Wiji Thukul dengan seni
memunculkan bakat baru dalam dirinya.
Thukul gemar menulis puisi. Beberapa puisinya sempat ia kirim ke beberapa koran.
Dengan bermodal puisi pula Wiji Thukul mengamen dari rumah ke rumah. Puisi-puisi
Wiji Thukul berisikan kritikan pedas terhadap rezim pemerintahan orde baru yang
dianggap makin represif. Terlebih lagi setelah terjadi pembubaran seni
instalasi patung marsinah, buruh yang diculik serta dibunuh setelah melakukan
mogok kerja. Marsinah menjadi symbol penderitaan dan perlawanan buruh. Saat
itu, Thukul bersama kedua sahabatnya yang merasa prihatin karena tidak adanya
kerja sama para seniman memutuskan untuk membentuk jaringan kerja seniman yang
bertujuan untuk meningkatkan solidaritas anatar seniman. Namun pada akhirnya jaringan kerja seni ini
menjurus pada politik praktis setelah
sejumlah aktivis PRD mencoba memanfaatkan jaker menjadi organ partai
untuk menarik masa. Pada saat itu, kedua sahabat Thukul tidak setuju jika jaker
dijadikan sayap partai. Namun Thukul tidak gentar. Melalui puisi-puisinya, pamphlet-pamphlet
serta poster-poster, Thukul menyerukan kritikannya pada pemerintahan.
Menggerakkan pasukan buruh dan tani untuk melakukan perlawanan. Hingga pada akhirnya ia dituduh sebagai salah
satu alasan terjadinya kisruh 27 juli. Menjelang terjadinya kasus kudatuli,
Wiji menghilang. Tak tahu rimbanya hingga kini.
Dalam kasus itu beberapa kerabat wiji
thukul ditangkap untuk mencari tahu keberadaan seniman yang tak dapat
melafalkan huruf ‘R’ itu. Tapi tak satupun dari mereka angkat bicara. sebagian
memang tak tahu keberadaan wiji Thukul yang sudah lama tak terlihat lagi. namun
sebagian yang lain memilih menutup mulut. Dalam penculikan itu mereka mendapat perlakuan
buruk. Disiksa, dipukuli bahkan ada beberapa dari mereka yang tewas. Tragedy
ini meninggalkan traumatic mendalam bagi para aktivis. Beberapa diantara mereka
bahkan hingga kini masih tak dapat ditemukan keberadaannya.
Jujur saja, saat membaca buku ini, membuka
lembaran pertamanya saja sudah berhasil mengenyuh hati saya. Hingga pada satu bagian yang menceritakan
bagaimana para aktivis itu disiksa, lari tunggang langgang dari kejaran ABRI
dan bersembunyi hingga tak pernah lagi kembali ke kerabat mereka hingga kini
membuat saya tak dapat menahan air mata.
Saya setuju jika mereka memang salah.
Para aktivis mungkin mengambil jalan yang terlalu jauh untuk menyampaikan
pendapatnya. Tapi disisi lain saya juga tidak setuju dengan tindakkan para ABRI
yang begitu keras terhadap para aktivis. Terhadap orang-orang yang menyampaikan
aspirasinya. Apakah tidak ada jalan yang lebih layak lagi yang dapat ditempuh
selain menyiksa dan menghilangkan nyawa? Saya rasa tidak. Masih sangat banyak
jalan yang dapat diambil untuk membungkam para aktivis. Mungkin pemerintah
memang harus mendengarkan kritikan mereka. Mencoba mencari tahu apa keinginan
mereka. apa yang membuat mereka telah begitu marah hingga terjun terlalu dalam
ke politik. Mereka, wiji Thukul dan beberapa aktivis lainnya hanya sebagian
kecil dari orang-orang yang pendapatnya ingin di dengar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar