3/29/2017

Novel Klasik dan Anna Karenina



Beberapa minggu lalu, saya sedang menunggu kiriman paket buku yang saya pesan dari salah satu online shop dan kemarin buku itu baru saja saya terima. Saya membeli 4 buku karya sastra klasik karangan sastrawan Rusia, Leo Tolstoy yang berjudul Anna Karenina, Penulis Inggris Charles Dickens yang berjudul Great Expectations, Penulis dan jurnalis asal Amerika Serikat Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea dan satu lagi yang juga seorang penulis asal Amerika Serikat Pearl Sydenstricker Buck yang berjudul East Wind: West Wind yang tentu saja semuanya dalam bentuk terjemahan. Karena jujur saja saya terlalu pusing kalau melihat sebuah buku yang semua hurufnya membenuk sebuah kata dalam bahasa inggeris. Saat menerima paket ini saya sangat senang sekali. Ya saya memang selalu jatuh cinta dengan satra klasik. Buat saya, mereka punya keindahan tersendiri dalam pemilihan katanya. Selain itu, saya juga dapat melihat bagaimana kehidupan masyarakat era itu tanpa harus hidup dizamannya. Saya memutuskan untuk membaca novel Leo Tolstoy terlebih dahulu. Anna Karenina. Bukan tanpa pertimbangan, novel ini saya pilih karena sebelumnya saya sempat membaca biografi Leo Tolstoy dalam sebuah artikel.

Kalau sebelumnya saya selalu mereview buku-buku yang sudah saya baca, untuk kali ini saya akan memberikan pendapat tentang buku yang belum saya selesaikan. Anna Karenina membuat saya sedikit kecewa. Bukan karena ceritanya. Ceritanya memang sangat luar biasa dan membuat saya tidak pernah bisa berhenti untuk membaca. Yang saya kecewakan disini adalah novel ini sudah kehilangan identitasnya. Penerjemahnya sudah menerjemahkan dengan baik. Namun ada satu bagian yang membuat saya terkagum-kagum pada sastra klasik namun tidak saya temukan didalam novel ini. Adalah gaya bahasanya. Buat saya novel ini sudah bermetamorfosis terlalu jauh. Gaya bahasanya menggunakan gaya bahasa saat ini. Bukan yang begitu baku dan terkesan sopan. Saya kehilangan salah satu unsure interinsik dalam novel ini yang biasanya saya temukan di novel-novel klasik.
Sedikit perbandingan, dulu saat saya masih SMA, saya menemukan sebuah novel di perpustakaan sekolah yang belakangan saya ketahui adalah sebuah karangan Mustafa Lutfi Al Mantaluthi judulnya Sang Penyair. Dan saya langsung jatuh cinta pada novel ini dilembaran pertamanya. Saya ingat sekali waktu itu saya menghilangkan kartu perpustakaan yang menjadi syarat jika ingin membawa pulang buku. Jadi saya selalu datang ke perpustakaan untuk menghatamkan buku luar biasa itu disaat jam istirahat atau jika sedang tidak ada guru di kelas. Namun karena saya sudah tidak tahan membaca hanya dalam waktu luang saja, saya memutuskan untuk membawa pulang buku itu secara diam-diam dan menghatamkannya dirumah.  Buat saya, buku itu adalah cinta pertama saya terhadap sastra klasik. Gaya bahasanya benar-benar indah. Kisahnya tergambar jelas diatas kepala saya dan semua karakternya memiliki nyawa. Kemudian saya juga pernah membaca novel karangan dari seorang ulama besar Indonesia-Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Dan lagi-lagi saya jatuh cinta dengan novel ini. Selanjutnya, ada satu novel klasik lagi berjudul Padang Karbala-Telaga Darah dan Air Mata yang ditulis oleh George Zeidan dan diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf. Novel ini berkisah tentang kematian Imam Husein, R.A-Cucu Rasulullah S.A.W-  di padang karbala. Tentang sebuah pengorbanan dan cinta. Dan sekali lagi saya tidak bisa mengalihkan perhatian saya dari novel yang indah ini. Sejak saat itu saya menaruh ekspektasi tinggi terhadap karya sastra klasik. Bagi saya semakin tua usia buku semakin dia berharga dan indah. Tapi sayang sekali saya tidak menemukan itu dalam Anna Karenina.



 (sumber : google)
Penasaran apakah hanya saya yang merasakan hal itu, semalam saya mencoba mencari-cari artikel tentang novel ini. Dan saya menemukan satu fakta yang lain. Novel ini ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Rusia oleh seorang penulis yang juga seorang filusuf Rusia. Count Leo Nicolayevic Tolstoy. Mulanya, Novel ini berisikan sekitar 1500 halaman tidak heran Tolstoy menulisnya dalam kurun waktu 4 tahun. Sementara novel yang sedang saya baca saat ini adalah hasil dari sebuah karangan yang ditulis ulang atau mungkin saduran oleh seseorang yang saya lupa namanya sehingga hanya dibuat 214 halaman. Saat itu saya mulai mengerti mengapa novel ini tidak seperti novel-novel klasik lainnya yang pernah saya baca. Karena novel ini adalah sebuah saduran dimana penulisnya akan menulis ulang novel asli dalam bahasanya sendiri. Ya niatnya memang baik, supaya semua kalangan bisa membaca. Tapi tetap saja buat saya penyadurnya sudah menghilangkan unsure interinsik dari novel ini. Yang saya suka dari sebuah sastra klasik adalah ketika saya berfikir keras untuk memahami maksud dari apa yang tertulis di dalamnya. Buat saya itu adalah sebuah ilmu yang sangat bermanfaat karena saya akan menemukan satu atau ratusan lebih kosakata baru hanya pada satu buah buku. Tapi itu hanya pendapat saya. Seseorang yang memuja satra klasik. Tetap saja kita harus memberi penghargaan atas usaha seseorang yang sudah menuliskan ulang novel ini dalam bahasa yang lebih sederhana. Oh iya, buat kalian yang sedang menimang-nimang apakah akan membeli buku ini atau tidak, jangan terpengaruh dengan tulisan saya ini, silahkan beli dan baca sendiri karena ceritanya sangat menarik dan penuh liku. Luar biasa. Lain waktu akan saya review setelah saya menyelesaikan membacanya.

3/23/2017

Review Buku Belajar Bijak Dari Sam !

Sejak diawal bulan maret kemarin, ada beberapa buku yang sudah saya rampungkan sampai dengan malam ini. Diantaranya ada My Sister Keepers karya Jodi Picoult, ada Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, ada Tidak Ada New York Hari ini karya Aan Mansyur dan terakhir buku motivasi Belajar Bijak Dari Sam karya Daniel Gottlieb, Phd. Diantara buku-buku bulan maret saya, yang paling berkesan dihati saya adalah buku Belajar Bijak Dari Sam. Entah mungkin karena saya baru saja memutuskan resign dari pekerjaan jadi mungkin saya sedang membutuhkan banyak motivasi untuk melanjutkan hidup saya dan dibuku ini, saya menemukan bahwa saya telah menjadi orang yang paling buruntung. Atas dasar apa saya mengatakan demikian? Sementara dari pandangan orang-orang normal, kondisi dimana kita menjadi seseorang yang tidak memiliki pekerjaan sama sekali tidak berpenghasilan sama sekali adalah lebih sering dipandang sebelah mata, sehingga mau tak mau keadaan ini menjadi momok buat kepercayaan diri kita untuk ikut bergabung di dalam perkumpulan keluarga atau teman-teman yang tentunya sudha memiliki penghasilan sendiri. Tapi buku ini memberi tahu saya bahwa saya adalah orang yang paling bahagia.

Belajar Bijak Dari Sam merupakan karangan dari seorang kakek dari cucu yang memiliki keterbelakangan mental. Sam adalah anak yang special. Dia terlahir berbeda dari teman-temannya. Dan Daniel menemukan keunikan tersendiri dari dalam diri Sam yang membuatnya banyak belajar tentang kehidupan dari anak kecil tersebut. Setelah mengalami kecelakaan dan membuat kakinya lumpuh, Daniel semakin menyadari pentingnya kesabaran, penerimaan, rasa syukur dan harapan. Hal itulah yang ingin diajarkannya pada cucunya Sam. Tapi dalam prosesnya, Daniel menyadari bahwa justru dia lah yang mendapatkan pelajaran tentang nilai-nilai universal tersebut dari Sam.

Sam mengajarkan Daniel dan saya tentang berkata jujur. Ada satu bagian di dalam buku, di bab pertama yang menceritakan tentang kejujuran Sam. Karena keterbatasan mentalnya, Sam merasa orang-orang yang memecah konsentrasinya sebagai pengganggu yang akan sulit dimaafkannya. Suatu ketika, saat Sam yang senang menggambar meminta ibunya mengambilkan warna turquoise dari krayon-krayonnya tapi saat dia hendak menggoreskan krayon yang diambilkan ibunya, mendadak tangannya membeku karena ternyata krayon yang diambilkan ibunya adalah krayon yang berwarna biru muda. Saat itu Sam langsung menuduh ibunya tidak berkonsentrasi. Dan saat ibunya bertanya apakah dia mau memaafkannya? Sam menjawab, “Sedikit.” Melalui hal sepele ini, Sam mengajarkan kita arti konsisten. Dia tidak suka, maka dia akan mengatakannya dengan gamblang. Dan ketika orang yang mengganggunya meminta maaf sata dia masih belum bisa melupakannya, maka dia akan mengatakan dengan jujur bahwa dia baru sedikit memaafkannya.

Dibab lain, tentang kisah Sam yang paling melekat dikepala saya adalah tentang percakapannya dengan kakeknya si Daniel Gottlieb. Saat itu Daniel melemparkan pertanyaan kepada Sam mengenai perbedaan Sam dengan yang lain.
“sam, apakah kau merasa sama seperti anak-anak lain? Atau berbeda?”
Lalu saat itu, Sam berfikir sejenak sebelum dia menjawab. “berbeda.”
Daniel kembali bertanya, “menurutmu apa yang membuatmu berbeda dari anak-anak lain?”
Sam kembali menjawab, “aku lebih baik hati.”
Saat itu, Daniel menguraikan tentang jawaban Sam. Dia kembali mengingat-ingat kebersamaannya bersama Sam, dan dia setuju untuk jawaban Sam yang satu itu. Daniel ingat, ketika dia bermain basket bersama Sam. Sam melempar bola sementara Daniel berusaha menangkapnya. Kadang Daniel menangkapnya tapi kadang bolanya lolos dari tangannya. Tapi entah dia menangkap bolanya atau tidak, Sam akan selalu memujinya. “tangkapan yang hebat”  atau “usaha yang bagus.” Ya Sam memang benar, dia berbeda karena dia lebih baik dari anak-anak yang lain. Sam mengajarkan untuk selalu menghargai apapun usah ayang sudah dilakukan orang lain.

Selain kisah tentang Sam, kisah tentang Daniel si kakek juga mengajarkan banyak hal untuk saya. Tentang keikhlasannya merelakan kakinya akibat kecelakaan yang dialaminya. Atau tentang dia yang merelakan pekerjaannya sebagai seorang penulis kolom. Tentang makna bahagia menurut seorang Daniel yang saya setujui. Mungkin karena saya mengalami nasib yang sama dengannya.
Disalah satu bab, Daniel bercerita tentang betapa dilemanya dia saat memutuskan akan melepaskan pekerjaannya sebagai seorang penulis kolom. Tentunya akan banyak pertimbangan-pertimbangan ketika kita akan melepaskan sesuatu yang telah begitu melekat dengan diri kita. Dan tentu saja ada beberapa pertanyaan yang ikut-ikutan mencuat dikepala kita. Apakah tindakan kita sudah benar? apakah kita bodoh dengan meninggalkan pekerjaan yang sudah melekat dengan kita? yang sudah membuat kita jauh lebih baik. Apakah kita akan menjadi lebih baik setelah ini? Lalu, Daniel menyadari satu hal, bahwa setelah dia melepaskan apa yang telah melekat dengannya, sesuatu yang tak terduga akan mengisi tempatnya. Dia menyadari bahwa dia akan semakin mempnyai banyak kesempatan dalam hidupnya.  Memiliki waktu lebih banyak bersama orang-orang tircinta, mengamati musim berganti, menghirup aroma rumput, mendengarkan suara lautan dan tentu saja suara cucunya. Daniel menyadarkan saya bahwa bahagia bukan melulu melalui materi. Bahagia adalah waktu. Bahagia adalah kesempatan.  
 Ada satu kalimat yang sangat saya sukai dari Daniel Gottlieb,
“kualitas hidup kitabukanlah tentang apa yang kita punya atau apa yang sudah kita raih; itu adalah tentang apa yang telah kita ikhlaskan.”



Bahwa tentang hidup, kita tidak perlu takut akan masa depan. Semua sudah ada yang mengatur. Kita hanya perlu menjalani, menikmati dan tentu saja terus berusaha.
Rasa-rasanya ada banyak hal yang ingin saya share disini tentang buku ini, tapi setelah saya pikir-pikir lagi, mungkin kalian lebih baik membelinya dan membaca seluruh isinya.