8/27/2017

Mencari Setangkai Daun Surga

"Seorang sastrawan bisa saja dihabisi oleh penguasa, tetapi suaranya akan tetap hidup: melalui karya-karya abadi yang membekas di benak dan hati anak-anak bangsanya." -Anton Kurnia, hal : 134


Buku karangan Anton Kurnia ini merupakan salah satu buku yang wajib di baca menurut saya. Berisi lebih dari 70 esai yang memuat seputar sastra, politika, budaya dan sejarah. Terdiri dari 3 Bagian, masing-masing bagian memiliki temanya sendiri. Bagian pertama berjudul "Dari Praha Ke Hindia Lama."  Esai-esai pada bagian ini sedikit banyak mengulik tentang beberapa karya sastra dunia, baik yang terkemuka maupun yang terlupakan. Perjuangan-perjuangan penulisnya dalam menghasilkan sebuah karya, sampai pada prestasi-prestasi yang di raihnya. Terdiri dari 27 karya sastra yang di bahas, diantaranya adalah karangan dari Franz Kafka, penulis kelahiran Praha, Milan Kundera, penulis kelahiran Ceko, Joshep. K, Italo Calvino, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Mo Yan, hingga penulis-penulis terkemuka asal negeri sendiri, Pramudiya Ananta Toer, Ayu Utami,  Djenar maesa Ayu dan masih banyak lagi karya sastra yang diangkat dalam buku ini. Yang menarik dari bagian ini adalah pengangkatan kisah di balik terciptanya sebuah maha karya. Perjuang seorang penulis agar karyanya di terima masyarakat, Sampai pada akhirnya karya mereka benar-benar diakui dan mendapat penghargaan. Salahs satu esai yang paling saya suka pada bagian ini adalah "Pena dan Pedang." Mengungkapkan perjuangan seorang penulis yang harus berhadapan dengan pemerintahan yang korup dan menindas. Bagaimana sebuah karya menjadi ancaman dan sang maestro mau tidak mau harus di sembunyikan di balik jeruji besi dengan tuduhan sebagai pemberontak negara. Tapi yang menarik, sang sastrawan tak pernah patah arang. Penjara tak pernah menjadi sesuatu yang menyurutkan keinginan mereka untuk memngungkapkan kebenaran melalui sebuah pena. Seperti kata Gabriel Garcia marquez : "Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itu lah penulis berbakti kepada bangsanya."

Berlanjut kebagian ke dua dalam buku ini yang berjudul "Melawan Lupa, Menolak Mitos." Tema yang diangkat pada bagian ini adalah sejarah sebuah bangsa. Mengenai perjuangan seorang aktivis dan penulis, tentang kejahatan pemerintahan otoriter dan kediktatoran seorang pemimpin. Tentang sebagian warga negara yang tak takut mati demi menciptakan sebuah negara yang lebih baik lagi. Dalam bagian ini menyingkapkan beberapa kisah tentang perjuangan seorang Soe Hok Gie, Wiji Tuku, Munir, Che Guevara, Socrates, Pramudia Ananta Toer, Tan Malaka, Mohandas Karamachand Gandhi hingga gubernur Jakarta yang amat kontroersial, Bapak Ahok. Sejarah dan pemberontakan sangat kental pada bagian ke dua ini. Bagimana seorang yang tidak bersalah kemudian di hilangkan dari negaranya sendiri, merasa terancam berada di negaranya sendiri, dipenjarakan karena dianggap menyalahi aturan bernegara sampai pada kematian-kematian yang harus di hadapi. Membaca bagian kedua ini kita akan dihinggapi berbagai perasaan ngeri, bergidik, miris, sedih, suram dan mencekam.  Tapi pada bagian ini mengungkapkan banyak kisah tentang perjuangan anak bangsa melawan rezim-rezim yang tidak bertanggung jawab. Yang hanya mengandalkan kekuatan militer dalam membasmi kesalahan. Bab yang saya suka pada bagian ini adalah bab "Belajar Membaca."  Yang mengungkapkan fakta tentang betapa budaya membaca di pandang tidak menarik oleh masyarakat kita. Bagaimana acara televisi jauh lebih menarik dari pada sebuah buku, tentang kebjikan pemerintah yang kurang mendukung budaya membaca dengan memberikan pajak yang tinggi bagi para penulis, harga kertas yang mahal hingga berimbas pada mahalnya harga buku. Dan disisi lain, masih banyaknya buku yang dilarang beredar dengan berbagai alasan. Ada sebuah kutipan yang menarik pada bagian ini yang disampaikan oleh Joseph Brodsky, "Membakar buku adalah kejahatan. Tapi ada yang lebih jahat lagi, yakni tidak membaca buku."

Jika pada bagian pertama dan kedua buku ini mengungkap tentang kisah para penulis dan perjuangan mereka melwan pemerintahan, maka di bagian ketiga, kita akan disuguhkan dengan asal mula munculnya sesuatu. Berjudul "Rubah Gurun dan Hantu Komunis." Terdiri dari 20 esai,bagian ini akan membawa kita pada sebuah asal muasal lahirnya sebuah karya sastra, tentang bagaimana sebuah film ada, bagaimana tentang lembaga sensor film menjadi penentu beredar atau tidaknya sebuah film, disisi lain mengungkapkan sepak terjang sepak bola Indonesia hingga sebuah warisan budaya. Buat saya, bagian ini sedikit lebih kompleks pembahasannya dibandingkan dengan bagian satu dan dua. Dan seperti bagian-bagian sebelumnya, pada bagian ini saya juga memiliki satu bab yang paling saya suka, "Film dan Kebenaran yang Tersingkap." Menjelaskan tentang awal mula lahirnya sebuah film. Sampai pada masanya, kemunculan film dianggap sebagai ancaman, sebagai alat propaganda. Seperti yang dilakukan Hitler dan Nazi. Serta tak ketinggalan dalam sejarah nasional kita. "terwujud dalam sebuah film Penghianatan G 30 S/ PKI yang dimanfaatkan oleh rezim soeharto dan orde baru untuk menutupi sebuah kebenaran sejarah melalui penayangan sebuah film yang menggambarkan tentang betapa kejamnya orang komunis yang menyiksa dan membunuh para jendral angkatan darat. Sementara tak satu  adegan pun menyinggung soal pembantaian ratusan ribu orang yang dituduh komunis oleh tentara dan massa sebagai kelanjutan teragedi pembunuhan para jendral di Jakarta." -hal 312

Beragai fakta diungkapkan dalam buku ini, berbagai pemikiran yang menurut saya pun benar juga dinyatakan dalam buku ini dan berbagai pengetahuan baru yang saya dapat kan hanya dengan membaca satu buku ini. Saya rasa buku ini adalah buku terbaik pada bulan ini yang saya baca.

Tidak ada komentar: