8/27/2017

Saksi Mata - Seno Gumira Ajidarma

Satu lagi buku yang menurut saya wajib untuk di baca, terutama bagi para pecinta bacaan sejarah. Saksi Mata dari tangan seorang Seno Gumir Ajidarma. buku ini merupan kumpulan cerpen yang terdiri dari 16 belas cerpen yang keseluruhannya mengangakat kisah di balik insiden Dili 12 November 1991, tepatnya pada masa orde baru masih berkuasa. Buku ini mengungkapkan perjuangan-perjuangan dari para tokoh dalam menyempurnakan sisi kemanusiaannya. Berbagai tragedi berdarah dikisahkan dalam setiap cerpen dengan sangat apik. Bagaimana para pejabat militer memperlakukan sesorang dengan sangat kejam. Nyawa tak ada lagi harganya, rasa kemanusiaan tidak lagi tertanam. Rasa kehilangan menghinggapi setiap yang benyawa. Hingga yang muncul adalah ketakutan-ketakutan dalam menghadapi hari baru. Ketakutan dalam berbicara, ketakutan dalam mengambil keputusan, ketakutan dalam menuliskan suatu kebenaran yang tersembunyi. Disetiap kisah yang dihadirkan kita akan ikut merasakan suasana mencekam dan ketakutan seperti yang terjadi pada masa itu.  Hingga meski pun sudah merampungkan membacanya, buku ini akan menjadi buku yang paling membekas dan sulit untuk di lupakan. Banyaknya makna-makna yang terselubung menjadi kan buku ini kian menarik. Seperti salah satu cerpen yang berjudul "Klandestin."  Yang menggambarkan bagaimana seseorang yang merasa terpasung kakinya, terikat tangannya, terantai lehernya, merasa bagaikan roh tanpa tubuh yang bergentayangan seperti setan. Yang meski pun si tokoh mencoba mencari-cari siapa musuhnya tetap saja tidak dapat ditemukan. Sampai pada akhirnya ia menyadari bahwa musuh terbesarnya adalah sistem. Sistem yang memusuhi pikiran-pikirannya yang begitu menakutkan hingga ia harus menerima kenyataan penanya harus dibekukan, listrik harus di cabut dari komputernya dan tak selembar kertas pun tersedia untuknya untuk menampung pikiran-pikirannya yang belum sempat tertuliskan. Cerpen ini mengungkapkan satu fakta bahwa pada masanya, menulis pernah dianggap menjadi satu kegiatan yang mengancam. Mengancam negara, mengancam kepemerintahan dan tak lebih mengancam penulisnya. Tentu saja dengan harapan keburukan sebuah sejarah tidak boleh terungkapkan. 

Seluruh cerpen yang ada di dalam buku ini rasanya begitu mencekam, mengerikan dan suram. Saya sendiri seolah dapat meraskan kisah Junior, yang sejak bayi telah diasuh oleh suster Tania dan ketika besar harus rela berpisah dengan perempuan yang sudah dianggap ibunya sendiri itu demi mencarikeberadaan ibu kandungnya yang menghilang sejak ia masih bayi. Bagaimana perasaan Da Silva ketika mendapati kepala anak perempuan satu-satunya yang terpenggal dan ditancapkan di pagar rumahnya sendiri. Betapa mencekamnya hidup Salvador menjelang kematiannya yang harus rela tubuhnya dihujani peluru dan mayatnya digantung di gerbang kota hanya karena kesalahan kecil, maling ayam. Kesedihan Maria yang kehilangan seluruh keluarganya dan menunggu bertahun-tahun kepulangan anak bungsunya, Antonio yang dirasanya masih hidup dan sedang bersembunyi. Tentang perasaan Antonio yang setelah sekian lama bersembunyi di hutan dan pada akhirnya menemukan jalan pulang kembali, namun tak dapat dikenali oleh ibunya, Maria dan harus rela diusir dari rumahnya. Tentang bagaimana mencekamnya kota Ningi yang setiap tahunnya penduduknya selalu berkurang. Dan tentang kebiasaan aneh mereka yang hidup dengan orang-orang yang tidak kelihatan. Yang sebenarnya sudah mati tapi tetap hidup bersama mereka, makan dimeja makanyang sama, tidur di rumah yang sama dan menjalani kehidupan yang sama dengan mereka. Dan saya pun turut merasakan berada dalam mata pelajaran sejarah yang di sampaikan oleh bapak guru Alfonso. 

Buku yang sangat luar biasa dan menyentuh hati nurani saya sebagai seorang warga Indonesia. Buku ini sangat saya rekomendasikan. Untuk reting sendiri, saya berani memberikan 5 bintang.

Tidak ada komentar: