8/28/2017

Ayah -Novel by Pak Cik Andrea Hirata

Sabari, adalah anak dari seorang laki-laki yang hidup dan menetap di Belantik, kampung paling ujung di pinggir laut Belitong sebelah timur, Insyafi namanya.Sejak pertemuan pertamanya dengan perempuan bernama Marlena binti Markoni, Sabari yang tidak tahu menahu tentang persolan cinta, dan cenderung menganggap perkara cinta adalah perkara paling tidak penting, justru dibuat jatuh cinta mati-matian pada Marlena. Pertemuan pertama mereka terjadi di dalam ruang ujian akhir nasional. Sabari yang yang tak pandai di berbagai bidang ilmu, justru dengan sangat mudahnya menyelesaikan persoalan bahasa Indonesia yang diberikan kala itu. Dia menjadi orang pertama yang menyelesaikan seluruh soal tanpa kesulitan. Namun, ia terperanjat saat hendak mengantarkan lembar jawabannya ke muka pengawas, karena tiba-tiba saja seorang anak perempuan merebut lembar jawabannya tanpa permisi, menyalin seluruh jawaban Sabari ke dalam lembar kosong jawabannya sendiri. Sabari terperangah, dan masih mematung di tempatnya ketika perempuan itu menyerahkan kembali lembaran jawaban miliknya. Tanpa berkata-kata, anak perempuan itu tersenyum padanya sambil menyerahkan pinsil miliknya yang dianggap Sabari sebagai tanda terimakasih. Sejak saat itu, jungkir balik Sabari mengejar cinta Marlena.

Marlena sendiri adalah perempuan yang tinggal bersama kedua orang tuanya, Markoni. Nasib buruk yang menimpa ayahnya kala masih bujang, membuat Markoni mendidik anak-anaknya dengan tegas. diancamnya Lena yang rupa-rupanya memiliki watak seperti dirinya, kalau anak perempuan itu tidak lulus ujian SMP, maka akan di berhentikannya sekolah dan dikahkannya dengan laki-laki pilihan Markoni sendiri. Ia hanya tak ingin Marlena bernasib sama dengan dirinya yang putus sekolah dan tak menjadi apa-apa. Marlena yang pada dasarnya memiliki jiwa pemberontak tentu saja tak ingin hidupnya usai di pernikahan dengan laki-laki yang tak dia cintai. Maka dari itu, giat Marlena belajar. Namun karena ujian yang sudah semakin dekat, ragu Marlena akan dapat lulus ujian meski telah belajar dengan mati-matian. Ia hanya berharap keajaiban akan datang menghampirinya. Dan pada akhirnya bertemulah dia dengan keajaiban itu di ruang ujian. Yang mengantarkannya pada sebuah kelulusan.

Kisah cinta Sabari dan Marlena tak usai sampai ruang ujian. Perjalanan mendapatkan cinta Marlena tak pernah semulus yang diaminkan Sabari setiap waktu. Ia harus berhadapan dengan watak keras Marlena dan hobinya bergonta-ganti laki-laki. Harus berhadapan dengan  ayah Marlena yang tak kalah membuatnya kewalahan. Dan meski pun pada akhirnya Sabari berhasil menikahi Marlena dan mendapatkan seorang anak yang kemudian dinamainya Zorro, kebahagiaan tak serta merta menghampirinya dengan senang hati. Berbagai hal harus rela SAbari ikhlaskan. Kehilangan bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu baginya. Perjuangan Sabari untuk mendapatkan cinta Marlena, dan upayanya dalam meberikan seluruh cintanya kepada Zorro membuat mengikhlaskan menjadi hal yang paling sulit untuk di lakukan Sabari.
Dulu sekali saya pernah membaca buku Andrea Hirata yang pertama, Laskar Pelangi. Dan ini buku kedua Andrea yang saya baca lagi setelah sekian lama. Tapi tetap saja, saya selalu mendapatkan perasaan menyenangkan saat tenggelam dalam novel-novel karya Andrea Hirata. Kisah yang sederhana, dari orang-orang sedrehana dan dikemas dengan gaya bahasa yang sangat sederhana, membuat buku-buku Andrea Hirata menjadi buku yang paling enak untuk disantap. Melalui kisah Sabari ini, sepertinya pak cik Andrea ingin menyampaikan pesan, bahwa apa yang kita inginkan harus kita dapat dengan usaha yang sangat besar. Dan sebuah usaha yang sangat besar tidak akan menghianati sebuah hasil. Kisah yang sangat menyentuh, sekaligus menggelitik.

"Ingat Boi, dalam hidup semua terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu." Hal: 394

8/27/2017

Saksi Mata - Seno Gumira Ajidarma

Satu lagi buku yang menurut saya wajib untuk di baca, terutama bagi para pecinta bacaan sejarah. Saksi Mata dari tangan seorang Seno Gumir Ajidarma. buku ini merupan kumpulan cerpen yang terdiri dari 16 belas cerpen yang keseluruhannya mengangakat kisah di balik insiden Dili 12 November 1991, tepatnya pada masa orde baru masih berkuasa. Buku ini mengungkapkan perjuangan-perjuangan dari para tokoh dalam menyempurnakan sisi kemanusiaannya. Berbagai tragedi berdarah dikisahkan dalam setiap cerpen dengan sangat apik. Bagaimana para pejabat militer memperlakukan sesorang dengan sangat kejam. Nyawa tak ada lagi harganya, rasa kemanusiaan tidak lagi tertanam. Rasa kehilangan menghinggapi setiap yang benyawa. Hingga yang muncul adalah ketakutan-ketakutan dalam menghadapi hari baru. Ketakutan dalam berbicara, ketakutan dalam mengambil keputusan, ketakutan dalam menuliskan suatu kebenaran yang tersembunyi. Disetiap kisah yang dihadirkan kita akan ikut merasakan suasana mencekam dan ketakutan seperti yang terjadi pada masa itu.  Hingga meski pun sudah merampungkan membacanya, buku ini akan menjadi buku yang paling membekas dan sulit untuk di lupakan. Banyaknya makna-makna yang terselubung menjadi kan buku ini kian menarik. Seperti salah satu cerpen yang berjudul "Klandestin."  Yang menggambarkan bagaimana seseorang yang merasa terpasung kakinya, terikat tangannya, terantai lehernya, merasa bagaikan roh tanpa tubuh yang bergentayangan seperti setan. Yang meski pun si tokoh mencoba mencari-cari siapa musuhnya tetap saja tidak dapat ditemukan. Sampai pada akhirnya ia menyadari bahwa musuh terbesarnya adalah sistem. Sistem yang memusuhi pikiran-pikirannya yang begitu menakutkan hingga ia harus menerima kenyataan penanya harus dibekukan, listrik harus di cabut dari komputernya dan tak selembar kertas pun tersedia untuknya untuk menampung pikiran-pikirannya yang belum sempat tertuliskan. Cerpen ini mengungkapkan satu fakta bahwa pada masanya, menulis pernah dianggap menjadi satu kegiatan yang mengancam. Mengancam negara, mengancam kepemerintahan dan tak lebih mengancam penulisnya. Tentu saja dengan harapan keburukan sebuah sejarah tidak boleh terungkapkan. 

Seluruh cerpen yang ada di dalam buku ini rasanya begitu mencekam, mengerikan dan suram. Saya sendiri seolah dapat meraskan kisah Junior, yang sejak bayi telah diasuh oleh suster Tania dan ketika besar harus rela berpisah dengan perempuan yang sudah dianggap ibunya sendiri itu demi mencarikeberadaan ibu kandungnya yang menghilang sejak ia masih bayi. Bagaimana perasaan Da Silva ketika mendapati kepala anak perempuan satu-satunya yang terpenggal dan ditancapkan di pagar rumahnya sendiri. Betapa mencekamnya hidup Salvador menjelang kematiannya yang harus rela tubuhnya dihujani peluru dan mayatnya digantung di gerbang kota hanya karena kesalahan kecil, maling ayam. Kesedihan Maria yang kehilangan seluruh keluarganya dan menunggu bertahun-tahun kepulangan anak bungsunya, Antonio yang dirasanya masih hidup dan sedang bersembunyi. Tentang perasaan Antonio yang setelah sekian lama bersembunyi di hutan dan pada akhirnya menemukan jalan pulang kembali, namun tak dapat dikenali oleh ibunya, Maria dan harus rela diusir dari rumahnya. Tentang bagaimana mencekamnya kota Ningi yang setiap tahunnya penduduknya selalu berkurang. Dan tentang kebiasaan aneh mereka yang hidup dengan orang-orang yang tidak kelihatan. Yang sebenarnya sudah mati tapi tetap hidup bersama mereka, makan dimeja makanyang sama, tidur di rumah yang sama dan menjalani kehidupan yang sama dengan mereka. Dan saya pun turut merasakan berada dalam mata pelajaran sejarah yang di sampaikan oleh bapak guru Alfonso. 

Buku yang sangat luar biasa dan menyentuh hati nurani saya sebagai seorang warga Indonesia. Buku ini sangat saya rekomendasikan. Untuk reting sendiri, saya berani memberikan 5 bintang.

Mencari Setangkai Daun Surga

"Seorang sastrawan bisa saja dihabisi oleh penguasa, tetapi suaranya akan tetap hidup: melalui karya-karya abadi yang membekas di benak dan hati anak-anak bangsanya." -Anton Kurnia, hal : 134


Buku karangan Anton Kurnia ini merupakan salah satu buku yang wajib di baca menurut saya. Berisi lebih dari 70 esai yang memuat seputar sastra, politika, budaya dan sejarah. Terdiri dari 3 Bagian, masing-masing bagian memiliki temanya sendiri. Bagian pertama berjudul "Dari Praha Ke Hindia Lama."  Esai-esai pada bagian ini sedikit banyak mengulik tentang beberapa karya sastra dunia, baik yang terkemuka maupun yang terlupakan. Perjuangan-perjuangan penulisnya dalam menghasilkan sebuah karya, sampai pada prestasi-prestasi yang di raihnya. Terdiri dari 27 karya sastra yang di bahas, diantaranya adalah karangan dari Franz Kafka, penulis kelahiran Praha, Milan Kundera, penulis kelahiran Ceko, Joshep. K, Italo Calvino, Orhan Pamuk, Haruki Murakami, Mo Yan, hingga penulis-penulis terkemuka asal negeri sendiri, Pramudiya Ananta Toer, Ayu Utami,  Djenar maesa Ayu dan masih banyak lagi karya sastra yang diangkat dalam buku ini. Yang menarik dari bagian ini adalah pengangkatan kisah di balik terciptanya sebuah maha karya. Perjuang seorang penulis agar karyanya di terima masyarakat, Sampai pada akhirnya karya mereka benar-benar diakui dan mendapat penghargaan. Salahs satu esai yang paling saya suka pada bagian ini adalah "Pena dan Pedang." Mengungkapkan perjuangan seorang penulis yang harus berhadapan dengan pemerintahan yang korup dan menindas. Bagaimana sebuah karya menjadi ancaman dan sang maestro mau tidak mau harus di sembunyikan di balik jeruji besi dengan tuduhan sebagai pemberontak negara. Tapi yang menarik, sang sastrawan tak pernah patah arang. Penjara tak pernah menjadi sesuatu yang menyurutkan keinginan mereka untuk memngungkapkan kebenaran melalui sebuah pena. Seperti kata Gabriel Garcia marquez : "Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itu lah penulis berbakti kepada bangsanya."

Berlanjut kebagian ke dua dalam buku ini yang berjudul "Melawan Lupa, Menolak Mitos." Tema yang diangkat pada bagian ini adalah sejarah sebuah bangsa. Mengenai perjuangan seorang aktivis dan penulis, tentang kejahatan pemerintahan otoriter dan kediktatoran seorang pemimpin. Tentang sebagian warga negara yang tak takut mati demi menciptakan sebuah negara yang lebih baik lagi. Dalam bagian ini menyingkapkan beberapa kisah tentang perjuangan seorang Soe Hok Gie, Wiji Tuku, Munir, Che Guevara, Socrates, Pramudia Ananta Toer, Tan Malaka, Mohandas Karamachand Gandhi hingga gubernur Jakarta yang amat kontroersial, Bapak Ahok. Sejarah dan pemberontakan sangat kental pada bagian ke dua ini. Bagimana seorang yang tidak bersalah kemudian di hilangkan dari negaranya sendiri, merasa terancam berada di negaranya sendiri, dipenjarakan karena dianggap menyalahi aturan bernegara sampai pada kematian-kematian yang harus di hadapi. Membaca bagian kedua ini kita akan dihinggapi berbagai perasaan ngeri, bergidik, miris, sedih, suram dan mencekam.  Tapi pada bagian ini mengungkapkan banyak kisah tentang perjuangan anak bangsa melawan rezim-rezim yang tidak bertanggung jawab. Yang hanya mengandalkan kekuatan militer dalam membasmi kesalahan. Bab yang saya suka pada bagian ini adalah bab "Belajar Membaca."  Yang mengungkapkan fakta tentang betapa budaya membaca di pandang tidak menarik oleh masyarakat kita. Bagaimana acara televisi jauh lebih menarik dari pada sebuah buku, tentang kebjikan pemerintah yang kurang mendukung budaya membaca dengan memberikan pajak yang tinggi bagi para penulis, harga kertas yang mahal hingga berimbas pada mahalnya harga buku. Dan disisi lain, masih banyaknya buku yang dilarang beredar dengan berbagai alasan. Ada sebuah kutipan yang menarik pada bagian ini yang disampaikan oleh Joseph Brodsky, "Membakar buku adalah kejahatan. Tapi ada yang lebih jahat lagi, yakni tidak membaca buku."

Jika pada bagian pertama dan kedua buku ini mengungkap tentang kisah para penulis dan perjuangan mereka melwan pemerintahan, maka di bagian ketiga, kita akan disuguhkan dengan asal mula munculnya sesuatu. Berjudul "Rubah Gurun dan Hantu Komunis." Terdiri dari 20 esai,bagian ini akan membawa kita pada sebuah asal muasal lahirnya sebuah karya sastra, tentang bagaimana sebuah film ada, bagaimana tentang lembaga sensor film menjadi penentu beredar atau tidaknya sebuah film, disisi lain mengungkapkan sepak terjang sepak bola Indonesia hingga sebuah warisan budaya. Buat saya, bagian ini sedikit lebih kompleks pembahasannya dibandingkan dengan bagian satu dan dua. Dan seperti bagian-bagian sebelumnya, pada bagian ini saya juga memiliki satu bab yang paling saya suka, "Film dan Kebenaran yang Tersingkap." Menjelaskan tentang awal mula lahirnya sebuah film. Sampai pada masanya, kemunculan film dianggap sebagai ancaman, sebagai alat propaganda. Seperti yang dilakukan Hitler dan Nazi. Serta tak ketinggalan dalam sejarah nasional kita. "terwujud dalam sebuah film Penghianatan G 30 S/ PKI yang dimanfaatkan oleh rezim soeharto dan orde baru untuk menutupi sebuah kebenaran sejarah melalui penayangan sebuah film yang menggambarkan tentang betapa kejamnya orang komunis yang menyiksa dan membunuh para jendral angkatan darat. Sementara tak satu  adegan pun menyinggung soal pembantaian ratusan ribu orang yang dituduh komunis oleh tentara dan massa sebagai kelanjutan teragedi pembunuhan para jendral di Jakarta." -hal 312

Beragai fakta diungkapkan dalam buku ini, berbagai pemikiran yang menurut saya pun benar juga dinyatakan dalam buku ini dan berbagai pengetahuan baru yang saya dapat kan hanya dengan membaca satu buku ini. Saya rasa buku ini adalah buku terbaik pada bulan ini yang saya baca.