Beberapa minggu lalu, saya sedang menunggu kiriman
paket buku yang saya pesan dari salah satu online shop dan kemarin buku itu
baru saja saya terima. Saya membeli 4 buku karya sastra klasik karangan
sastrawan Rusia, Leo Tolstoy yang berjudul Anna Karenina, Penulis Inggris
Charles Dickens yang berjudul Great Expectations, Penulis dan jurnalis asal
Amerika Serikat Ernest Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea dan satu
lagi yang juga seorang penulis asal Amerika Serikat Pearl Sydenstricker Buck
yang berjudul East Wind: West Wind yang tentu saja semuanya dalam bentuk
terjemahan. Karena jujur saja saya terlalu pusing kalau melihat sebuah buku
yang semua hurufnya membenuk sebuah kata dalam bahasa inggeris. Saat menerima
paket ini saya sangat senang sekali. Ya saya memang selalu jatuh cinta dengan
satra klasik. Buat saya, mereka punya keindahan tersendiri dalam pemilihan katanya.
Selain itu, saya juga dapat melihat bagaimana kehidupan masyarakat era itu
tanpa harus hidup dizamannya. Saya memutuskan untuk membaca novel Leo Tolstoy
terlebih dahulu. Anna Karenina. Bukan tanpa pertimbangan, novel ini saya pilih
karena sebelumnya saya sempat membaca biografi Leo Tolstoy dalam sebuah
artikel.
Kalau sebelumnya saya selalu mereview buku-buku yang
sudah saya baca, untuk kali ini saya akan memberikan pendapat tentang buku yang
belum saya selesaikan. Anna Karenina membuat saya sedikit kecewa. Bukan karena
ceritanya. Ceritanya memang sangat luar biasa dan membuat saya tidak pernah
bisa berhenti untuk membaca. Yang saya kecewakan disini adalah novel ini sudah
kehilangan identitasnya. Penerjemahnya sudah menerjemahkan dengan baik. Namun ada
satu bagian yang membuat saya terkagum-kagum pada sastra klasik namun tidak
saya temukan didalam novel ini. Adalah gaya bahasanya. Buat saya novel ini
sudah bermetamorfosis terlalu jauh. Gaya bahasanya menggunakan gaya bahasa saat
ini. Bukan yang begitu baku dan terkesan sopan. Saya kehilangan salah satu
unsure interinsik dalam novel ini yang biasanya saya temukan di novel-novel
klasik.
Sedikit perbandingan, dulu saat saya masih SMA, saya
menemukan sebuah novel di perpustakaan sekolah yang belakangan saya ketahui
adalah sebuah karangan Mustafa Lutfi Al Mantaluthi judulnya Sang Penyair. Dan
saya langsung jatuh cinta pada novel ini dilembaran pertamanya. Saya ingat
sekali waktu itu saya menghilangkan kartu perpustakaan yang menjadi syarat jika
ingin membawa pulang buku. Jadi saya selalu datang ke perpustakaan untuk
menghatamkan buku luar biasa itu disaat jam istirahat atau jika sedang tidak
ada guru di kelas. Namun karena saya sudah tidak tahan membaca hanya dalam
waktu luang saja, saya memutuskan untuk membawa pulang buku itu secara
diam-diam dan menghatamkannya dirumah.
Buat saya, buku itu adalah cinta pertama saya terhadap sastra klasik.
Gaya bahasanya benar-benar indah. Kisahnya tergambar jelas diatas kepala saya
dan semua karakternya memiliki nyawa. Kemudian saya juga pernah membaca novel
karangan dari seorang ulama besar Indonesia-Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wicjk. Dan lagi-lagi saya jatuh cinta dengan novel ini. Selanjutnya, ada
satu novel klasik lagi berjudul Padang Karbala-Telaga Darah dan Air Mata yang
ditulis oleh George Zeidan dan diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf. Novel ini
berkisah tentang kematian Imam Husein, R.A-Cucu Rasulullah S.A.W- di padang karbala. Tentang sebuah pengorbanan
dan cinta. Dan sekali lagi saya tidak bisa mengalihkan perhatian saya dari
novel yang indah ini. Sejak saat itu saya menaruh ekspektasi tinggi terhadap
karya sastra klasik. Bagi saya semakin tua usia buku semakin dia berharga dan
indah. Tapi sayang sekali saya tidak menemukan itu dalam Anna Karenina.
(sumber : google)
Penasaran apakah hanya saya yang merasakan hal itu,
semalam saya mencoba mencari-cari artikel tentang novel ini. Dan saya menemukan
satu fakta yang lain. Novel ini ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Rusia oleh
seorang penulis yang juga seorang filusuf Rusia. Count Leo Nicolayevic Tolstoy.
Mulanya, Novel ini berisikan sekitar 1500 halaman tidak heran Tolstoy
menulisnya dalam kurun waktu 4 tahun. Sementara novel yang sedang saya baca
saat ini adalah hasil dari sebuah karangan yang ditulis ulang atau mungkin
saduran oleh seseorang yang saya lupa namanya sehingga hanya dibuat 214
halaman. Saat itu saya mulai mengerti mengapa novel ini tidak seperti
novel-novel klasik lainnya yang pernah saya baca. Karena novel ini adalah
sebuah saduran dimana penulisnya akan menulis ulang novel asli dalam bahasanya
sendiri. Ya niatnya memang baik, supaya semua kalangan bisa membaca. Tapi tetap
saja buat saya penyadurnya sudah menghilangkan unsure interinsik dari novel
ini. Yang saya suka dari sebuah sastra klasik adalah ketika saya berfikir keras
untuk memahami maksud dari apa yang tertulis di dalamnya. Buat saya itu adalah
sebuah ilmu yang sangat bermanfaat karena saya akan menemukan satu atau ratusan
lebih kosakata baru hanya pada satu buah buku. Tapi itu hanya pendapat saya.
Seseorang yang memuja satra klasik. Tetap saja kita harus memberi penghargaan
atas usaha seseorang yang sudah menuliskan ulang novel ini dalam bahasa yang
lebih sederhana. Oh iya, buat kalian yang sedang menimang-nimang apakah akan
membeli buku ini atau tidak, jangan terpengaruh dengan tulisan saya ini,
silahkan beli dan baca sendiri karena ceritanya sangat menarik dan penuh liku. Luar
biasa. Lain waktu akan saya review setelah saya menyelesaikan membacanya.