12/25/2016

Review Buku Sabtu Bersama Bapak

Saya nggak tahu kenapa saya suka sekali dengan malam sementara saya membenci gelap. Mungkin karena saya menyukai kesunyian. Seperti yang semua orang tahu, Tuhan tidak pernah menciptakan sebuah kekurangan tanpa memberikan sedikit kelebihan. Dan buat saya, itulah kelebihan dari malam. Sunyinya yang selalu berhasil membuat saya merasa tenang sejenak. Dan malam menjadi satu bagian yang berperan penting atas semua yang saya tulis.

Seperti saat ini, saya kembali mendapat inspirasi dari malam untuk mereview kembali salah satu buku favorit saya. Buku yang paling membuat saya jatuh cinta dan berhasil membuat saya tidak merasa bosan meski sudah membacanya berkali-kali. Judulnya Sabtu Bersama Bapak karangan dari  mas Aditya Mulya.

Dulu buku ini sering sekali saya temukan di salah satu rak khusus novel di toko buku gramedia di kota saya. Tapi saya gak pernah merasa tertarik untuk membawanya ke kasir. Karena jujur saja, saya kurang begitu suka dengan buku bertema keluarga. Tapi ketika suatu malam saat saya membuka-buka instagram, (@syahharbanu) saya menemukan sebuah informasi kalau buku ini akan segera difilmkan. Ada beberapa video potongan  dari cuplikan filmnya yang beredar dan saat itu saya mulai merasa tertarik. Di awal bulan, setelah menerima gaji, saya kembali ke gramedia dan kali itu saya menenteng buku Sabtu Bersama Bapak ke kasir.
  
Cerita yang sangat menarik dan berhasil membuat saya nggak berhenti membaca sejak membuka lembaran pertama. 

Di awal bab, dikisahkan seorang laki-laki berusia 38 tahu, Gunawan Garnida yang sedang mempersiapkan diri untuk merekam dirinya dengan handycam. Laki-laki itu adalah bapak dari dua orang anak bernama Cakra Garnida dan Satya Garnida yang akan menghadapi kematian dalam waktu dekat. Karena keinginannya untuk mendidik anak-anaknya hingga dewasa, dia memutuskan untuk merekam beberapa video yang dapat membantu istrinya untuk membimbing kedua putra mereka. Video ini lah yang ditonton Satya dan Cakra setiap hari sabtu. Dan video yang berisi pesan-pesan dari bapak itu mengantarkan mereka menjadi seorang laki-laki dewasa. Yang tidak hanya dewasa umur tapi juga dewasa dalam berfikir dan beakhlak.

Satya
si sulung yang perfectionis. Dia menginginkan dunianya berjalan seperti apa yang bapak ajarkan padanya. Ambisius dan pekerja keras. Satya menikahi seorang gadis bernama Rissa dan mempunyai dua orang anak dari hasil pernikahan mereka. Satya yang selalu semuanya ingin terlihat sempurna, bahkan dalam mendidik anak-anaknya, Satya menerapkan apa yang diajarkan bapaknya dari dia. Hingga tanpa sadar, hal itu membuat anak-anaknya takut dan mulai menjaga jarak padanya. Disinilah konflik si Satya. Dia merasa apa yang diajarkan bapaknya itu memang benar. Karena terlihat jelas hasilnya pada dirinya yang begitu sukses. Tapi ternyata, Rissa dan kedua anaknya tidak menginginkan Satya yang seperti bapaknya. Mereka hanya ingin Satya yang seperti Satya.

Cakra
si fakir cinta. Buku ini menjadi semakin menarik dengan adanya tokoh Cakra ini. Laki-laki sukses, memiliki tampang yang sedikit enak dipandang dan sudah punya rumah sendiri, sayangnya dia masih saja jomblo. Dan yang lebih naasnya, Cakra yang tak pernah menjalin hubungan menjadi seorang laki-laki yang akan bersikap konyol dihadapan wanita yang disukai.

Saya sangat suka dengan tokoh Cakra ini. Bos yang begitu bersahabat dengan karyawannya. Humoris, santai tapi pekerja keras. Cakra ini juga dikisahkan sedikit lebih alim. Dan yang membuat saya jatuh cinta pada tokoh ini, pemikiran Cakra yang dibuat begitu dewasa.

Suatu hari, ada karyawan baru yang datang ke kantor mereka. Ayu namanya. Dan sejak pertama melihat Ayu, Cakra sudah jatuh cinta pada perempuan itu. Dan semakin jatuh cinta ketika dia selalu melihat sepatu Ayu ada di rak sepatu mushola. Cakra, dibantu beberapa karyawannya, Firman, Wati dan masih ada yang lainnya tapi saya lupa namanya, mencoba medekati Ayu. Tapi emang dasar Cakra yang memang selalu payah di depan wanita, tak jarang ia melakukan tindakkan-tindakkan konyol di depan Ayu yang membuat Ayu merasa Cakra sedikit aneh. Ayu yang pernah punya pengalaman traumatik dengan laki-laki aneh memutuskan untuk menjaga jarak dengan Cakra dan memilih untuk membuka hati dengan rekan kerjanya yang lain. Salman. Saat mendengar Salman telah menyatakan cintanya dengan Ayu, Cakra sedikit merasa putus asa dan setuju untuk bertemu dengan perempuan yang dijodohkan ibunya.

Ibu Itje
Perempuan kuat yang sudah menjadi single mother sejak anak-anaknya masih kecil. Perempuan yang berhasil membawa anak-anaknya menuju kesuksesan. Di hari tuanya, ibu Itje divonis dokter menderita kanker payudara. Karena pesan suaminya "ingat, waktu dulu kita jadi anak, kita gak nysahin orang tua. Nanti kalau kita sudah tua, kita gak nyusahin anak." Membuat ibu Itje memutuskan untuk menyembunyikan penyakitnya dari kedua anaknya. Beliau mencoba melawan sakitnya sendiri, berobat sendiri hingga melakukan operasi tanpa sepengetahuan kedua anaknya. Hanya satu yang ditakutkan ibu Itje jika anak-anak mereka tahu, Satya yang berada diluar negeri sana akan uring-uringan dan pasti akan langsung terbang ke Indonesia untuk menengoknya. Dan Cakra, Jelas, anaknya yang satu itu akan melupakan kegiatannya dalam mencari jodoh. Sementara, ibu itje sudah sangat ingin mengantarkan Cakra ke plaminan. Karena keinginannya untuk melihat Cakra menikah membuat ibu Itje mencoba menjodohkan Cakra dengan salah satu anak perempuan temannya.

Setiap karakter dalam buku ini memiliki daya tarik sendiri-sendiri. Bapak Gunawan Garnida yang mempunyai cara sendiri untuk mendidik anak-anaknya agar mereka tak meresa kekurangan kasih sayang dari seorang ayah, Ibu itje yang begitu tegar menjalani kehidupan setelah suaminya meninggal hingga berhasil mengantarkan kedua anak laki-lakinya menuju pernikahan. Satya yang selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dan membuat keluarganya hidup lebih baik. Cakra dengan berbagai macam kekonyolanya, kedewasaannya dan keuletannya dalam bekerja. Namun satu yang pasti, kedua anak ini sangat mencintai ibu mereka.

Yang saya suka dari buku ini adalah, Aditya Muliya berhasil menyajikan kisah dalam kehidupan sehari-hari. kehidupan seorang single parent, kehidupan seorang laki-laki yang takut keluarganya akan mengalami kesulitan jika bersama dia hingga mengubahnya menjadi orang yang perfectionis. Kehidupan seorang laki-laki yang sudah memasuki usia 30 tahun, mapan, sudah siap menikah, tapi memiliki krisis kepercayaan diri terhadap perempuan. Ada begitu banyak pesan moral dari buku ini yang dapat kita ambil dari rekaman video pak Gunawan Garnida, kisah ibu itje, Satya dan Cakra. Pesan dalam mendidik anak. Pesan menjadi seorang laki-laki dewasa. Pesan menjadi seorang yang mandiri dan pantang putus asa. Pesan untuk membentuk pribadi yang jauh lebih baik setiap harinya. 

Saya benar-benar sangat suka sekali dengan buku yang satu ini, Sabtu Besama Bapak.


12/14/2016

REVIEW BUKU WIJI THUKUL-TEKA-TEKI ORANG HILANG




Beberapa bulan lalu, saya baru saja merampungkan buku yang mengulas perjalanan hidup seorang yang berpengaruh pada pergolakan politik di tahun 1998. Wiji Thukul.  Mungkin tidak banyak yang tahu tentang aktivis cadel yang tidak dapat melafalkan huruf 'r' ini. Terlebih dikalangan anak muda di era modern ini. Begitupun dengan saya yang terbilang baru mengenal  sosokWiji Thukul. Nama Wiji Thukul sendiri saya dengar pertama kali dari pembicaraan singkat dengan seorang teman saat kami membahas mengenai politik Indoneisa diera ketika kami masih dalam buaian. Pembahasan yang selalu membuat kami sanggup untuk begadang hingga larut malam. Kala itu, saya menceritakan kepadanya tentang salah seorang mahasiswa pemberani yang menentang pemerintahan soekarno. Soe Hok Gie namanya. Saya membahas tentang keberanian pemuda itu. Rasa nasionalisme dan kepeduliannya terhadap orang melarat yang dianggap sebagai kambing hitam untuk mengcoh pergerakan PKI yang menyebar di Indonesia. Soe Hok Gie yang tidak gentar. Soe Hok Gie yang    berjiwa besar. Dan saat itu pembahasan kami menjurus pada sosok lainnya. Teman saya menyebut salah seorang aktivis lagi yang saat itu namanya masih asing di telinga saya. Wiji Thukul. Dalam benak saya Wiji Thukul ini adalah orang kampung, yang hidup sederhana dan tinggal di sebuah rumah biasa saja di sebuah desa. Taman saya bilang Wiji ini adalah orang gila yang berani menentang pemerintahan orde baru kala itu melalui puisi-puisi buatannya. Melalui puisi-puisi itu, Wiji memaparkan penentangannya terhadap pemerintah kala itu. Puisi-puisinya dianggap sebagai propaganda untuk menyulut pergerakan kaum buruh dan tani untuk menentang pemerintahan orde baru. Hingga pada akhirnya, nama wiji mulai disebut-sebut diradio-radio dan televisi. Beberapa orang mulai dikerahkan untuk mencari keberadaan Wiji yang dianggap sebagai ancaman.  Hingga pada akhirnya Wiji menghilang. Kabur dari kejaran pemerintahan. Wiji menghilang. satu kalimat itu terus menggema ditelinga saya. Dalam benak saya, apa tidak bisa menyelesaikannya secara baik-baik? Secara hukum yang adil? tanpa harus membuat seorang warga merasa ketakutan hingga kabur dari negaranya sendiri. Lalu, sebagaian benak saya yang lain juga mulai angkat bicara. Mungkin ada satu aktivitas Wiji yang dianggap merugikan. Mungkin ada sesuatu yang dilakukan Wiji sehingga dia harus di tangkap. Bukankah pemerintah akan selalu berbuat yang terbaik untuk negaranya? Lalu, saya memutuskan untuk mencari keberadaan buku yang mengulas tentang kejadian dimasa ordebaru. Khususnya mengenai Wiji Thukul. Dan setelah cukup lama mencari, akhirnya buku ini saya temukan disalah satu toko buku di Kota saya. Buku ini merupakan seri buku tempo prahara orde baru berjudul Wiji Thukul. Teka-teki orang hilang. Buku ini berisi tentang perjalanan wiji thukul, kisah hidupnya, pengakuan-pengakuan orang-orang yang pernah di culik dalam kisruh kudatuli dan keterangan sahabat tentang Wiji Thukul.
Membicarakan politik memang tidak pernah ada habisnya.  Orde baru menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah di tanah air. Pada masa itu, saya yang kelahiran tahun 1993 sama sekali tidak mengerti kisruh yang terjadi kala itu.  sampai pada akhirnya saya menemukan seri buku tempo ini. satu persatu rasa penasaran saya tentang kisruh orde baru mulai terkuak. Krisis moneter, demonstrasi-demonstrasi, serta tragedi jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto. Dan mungkin masih banyak lagi pristiwa bersejarah lainnya yang tak dapat dipaparkan satu-persatu dalam buku setebal 160 halaman ini.  Tapi, buku ini membawa saya mengenal salah seorang aktivis yang keberadaannya cukup berpengaruh dalam peristiwa kudatuli yang begitu fenomenal. Wiji Thukul. Seniman cadel yang sampai saat ini masih tak dapat diketahui rimbanya.
Wiji Thukul, satu dari sekian banyak aktivis yang nasipnya begitu malang di Negeri sendiri. keputusannya untuk terjun ke politik praktis telah menyeretnya pada kesialan.  pada salah satu bab di dalam buku ini mengisahkan awal mula Thukul menjadi seorang yang begitu di cari-cari. Nama asli Thukul sebenarnya dalah Wiji Widodo. Sejak bergabung dibengkel teater yang di asuh oleh W. S. Rendra, ia diperkenalkan oleh salah satu anggota dengan Lawu Warta. Dan beliaulah yang mengganti nama Wiji Widodo menjadi Wiji Thukul yang artinya Biji Tumbuh.  Di teater ini Thukul ditempa menjadi seorang seniman yang hebat.

Kecintaan Wiji Thukul dengan seni memunculkan  bakat baru dalam dirinya. Thukul gemar menulis puisi. Beberapa puisinya sempat ia kirim ke beberapa koran. Dengan bermodal puisi pula Wiji Thukul mengamen dari rumah ke rumah. Puisi-puisi Wiji Thukul berisikan kritikan pedas terhadap rezim pemerintahan orde baru yang dianggap makin represif. Terlebih lagi setelah terjadi pembubaran seni instalasi patung marsinah, buruh yang diculik serta dibunuh setelah melakukan mogok kerja. Marsinah menjadi symbol penderitaan dan perlawanan buruh. Saat itu, Thukul bersama kedua sahabatnya yang merasa prihatin karena tidak adanya kerja sama para seniman memutuskan untuk membentuk jaringan kerja seniman yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas anatar seniman.  Namun pada akhirnya jaringan kerja seni ini menjurus pada politik praktis setelah  sejumlah aktivis PRD mencoba memanfaatkan jaker menjadi organ partai untuk menarik masa. Pada saat itu, kedua sahabat Thukul tidak setuju jika jaker dijadikan sayap partai. Namun Thukul tidak gentar.  Melalui puisi-puisinya, pamphlet-pamphlet serta poster-poster, Thukul menyerukan kritikannya pada pemerintahan. Menggerakkan pasukan buruh dan tani untuk melakukan perlawanan.  Hingga pada akhirnya ia dituduh sebagai salah satu alasan terjadinya kisruh 27 juli. Menjelang terjadinya kasus kudatuli, Wiji menghilang. Tak tahu rimbanya hingga kini.

Dalam kasus itu beberapa kerabat wiji thukul ditangkap untuk mencari tahu keberadaan seniman yang tak dapat melafalkan huruf ‘R’ itu. Tapi tak satupun dari mereka angkat bicara. sebagian memang tak tahu keberadaan wiji Thukul yang sudah lama tak terlihat lagi. namun sebagian yang lain memilih menutup mulut.  Dalam penculikan itu mereka mendapat perlakuan buruk. Disiksa, dipukuli bahkan ada beberapa dari mereka yang tewas. Tragedy ini meninggalkan traumatic mendalam bagi para aktivis. Beberapa diantara mereka bahkan hingga kini masih tak dapat ditemukan keberadaannya.

 Jujur saja, saat membaca buku ini, membuka lembaran pertamanya saja sudah berhasil mengenyuh hati saya.  Hingga pada satu bagian yang menceritakan bagaimana para aktivis itu disiksa, lari tunggang langgang dari kejaran ABRI dan bersembunyi hingga tak pernah lagi kembali ke kerabat mereka hingga kini membuat saya tak dapat menahan air mata.

Saya setuju jika mereka memang salah. Para aktivis mungkin mengambil jalan yang terlalu jauh untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi disisi lain saya juga tidak setuju dengan tindakkan para ABRI yang begitu keras terhadap para aktivis. Terhadap orang-orang yang menyampaikan aspirasinya. Apakah tidak ada jalan yang lebih layak lagi yang dapat ditempuh selain menyiksa dan menghilangkan nyawa? Saya rasa tidak. Masih sangat banyak jalan yang dapat diambil untuk membungkam para aktivis. Mungkin pemerintah memang harus mendengarkan kritikan mereka. Mencoba mencari tahu apa keinginan mereka. apa yang membuat mereka telah begitu marah hingga terjun terlalu dalam ke politik. Mereka, wiji Thukul dan beberapa aktivis lainnya hanya sebagian kecil dari orang-orang yang pendapatnya ingin di dengar.